Dampak Positif Co-Parenting pada Anak
Co-parenting atau pengasuhan bersama sering diadopsi oleh orangtua yang bercerai, dengan tujuan agar anak tetap merasakan cinta dan perhatian dari kedua orangtuanya meskipun tinggal terpisah.
Banyak figur publik seperti Acha Septriasa dan Vicky Kharisma, Gading Marten dan Gisella Anastasia, serta Desta dan Natasha Rizky menerapkan co-parenting dalam kehidupan mereka.
Co-parenting tidak hanya membantu anak tetap merasa aman, tetapi juga memiliki dampak positif terhadap perkembangan emosional dan sosialnya. Berikut beberapa manfaat utama dari co-parenting:
1. Lebih Mampu Beradaptasi
Psikolog klinis anak dan remaja Alida Shally Maulinda, M.Psi., menjelaskan bahwa anak yang diberikan persiapan secara fisik dan psikologis akan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan hidup setelah orangtuanya bercerai.
Orangtua sebaiknya memberi tahu anak tentang situasi mereka, baik secara langsung maupun melalui buku. Pemilihan cara dan kata-kata harus disesuaikan dengan usia anak.
Semakin muda usia anak, semakin sederhana penjelasannya. Misalnya, untuk anak yang mulai memahami isi buku, buku bisa menjadi alat bantu untuk menjelaskan situasi perceraian.
Dengan persiapan yang baik, anak akan lebih siap menghadapi perubahan, seperti pindah sekolah atau tinggal di tempat baru. Mereka juga akan lebih mudah mengelola perasaan dan pikiran mereka saat menghadapi situasi baru.
2. Lebih Mampu Mengelola Emosi
Kekompakan antara ayah dan ibu selama co-parenting berdampak positif pada kemampuan anak berusia 9-16 tahun dalam mengelola emosi.
Jika kedua orangtua memiliki pandangan yang sama tentang kebutuhan anak, seperti kebutuhan akan lingkungan yang aman dan nyaman, maka anak akan lebih terbuka dalam menyampaikan perasaannya.
Hal ini membantu anak mengelola emosi negatif secara efektif, seperti rasa marah atau sedih. Keberadaan orangtua yang saling mendukung membuat anak merasa didukung dan aman.
3. Mengurangi Risiko Perilaku Bermasalah
Co-parenting juga dapat mengurangi risiko munculnya perilaku bermasalah pada anak prasekolah. Ketika kedua orangtua aktif terlibat dalam mengasuh anak, meski sudah tidak lagi menjadi pasangan suami istri, potensi munculnya perilaku seperti hiperaktif, membantah orang tua, atau merundung teman akan berkurang.
Penting bagi orangtua untuk saling menghargai di depan anak dan membagi tugas secara adil. Meskipun tidak selalu sepakat, jika fokusnya adalah kebutuhan anak, maka hasilnya akan positif.
Apa Ciri Co-Parenting yang Baik?
Untuk menerapkan co-parenting yang efektif, orangtua perlu memiliki komunikasi yang sehat dan saling mendukung. Psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi., menekankan pentingnya kehangatan dalam hubungan antara orangtua, meskipun sudah tidak bersama.
1. Pandai Memposisikan Diri
Orangtua harus mampu membedakan peran sebagai ayah/ibu dan sebagai mantan pasangan. Saat bersama anak, mereka harus berpikir sebagai orangtua yang sedang menemani anak, bukan sebagai mantan suami atau istri.
Jika masih mempertahankan peran mantan pasangan, konflik berpotensi muncul. Oleh karena itu, semua perasaan pribadi harus dikesampingkan demi kepentingan anak. Orangtua harus fokus pada kebutuhan anak, bukan diri sendiri.
2. Fokus pada Kebutuhan Anak
Meskipun hubungan antara mantan pasangan tidak baik, selama co-parenting, mereka harus saling mendukung peran satu sama lain. Ini membutuhkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa peran sebagai orangtua lebih penting daripada konflik pribadi.
Meskipun tidak mudah, orangtua harus berusaha mengatasi perasaan kesal dan fokus pada yang terbaik untuk anak. Dengan begitu, anak akan merasa didukung dan memiliki lingkungan yang stabil.