Dulu Menolak APBN untuk Whoosh, Kini Purbaya Berubah?

Beban Utang Kereta Cepat Jakarta Bandung Menghimpit BUMN

JAKARTA -:Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh yang sejak awal diharapkan menjadi salah satu ikon infrastruktur modern di Indonesia kini justru menjadi beban berat bagi pihak-pihak terkait.

Proyek yang dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini memicu banyak perdebatan mengenai tanggung jawab dan skema pembayaran utang yang harus diambil.

BUMN Indonesia, yang menjadi pemegang saham mayoritas di KCIC, kini menghadapi kerugian hingga triliunan rupiah dalam setahun terakhir. Hal ini memaksa pemerintah dan berbagai instansi terkait untuk mencari solusi terbaik agar proyek tersebut tidak terus menerus menjadi beban keuangan yang berlarut-larut.

Pembahasan Skema Pembayaran Utang Masih Berlangsung

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebutkan bahwa saat ini masih terjadi pembahasan mengenai skema pembagian peran dalam menangani utang KCJB.

Hingga saat ini belum ada kesimpulan pasti terkait bentuk penyelesaian yang akan diambil pemerintah. Proses pembahasan masih terus berlangsung dan belum mencapai keputusan final.

Menkeu menjelaskan bahwa pihaknya ingin ikut serta dalam perkembangan diskusi yang dilakukan oleh tim terkait, agar tidak hanya mengetahui hasil akhirnya tetapi juga memahami prosesnya secara menyeluruh. Ia menilai penting untuk mencari opsi terbaik bagi negara sebelum pemerintah menentukan langkah yang akan diambil.

Menkeu Menolak Penggunaan APBN untuk Pembayaran Utang Whoosh

Sebelumnya, Purbaya menegaskan bahwa dirinya menolak mentah-mentah bila pembayaran utang proyek Kereta Cepat Whoosh menggunakan APBN.

Menurutnya, tanggung jawab pembayaran seharusnya berada di tangan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara Indonesia, mengingat lembaga tersebut kini menerima seluruh dividen dari BUMN.

“Dulu kan semuanya pemerintah yang (menanggung). Tapi ketika sudah dipisahkan dan seluruh dividen masuk ke Danantara, Danantara cukup mampu untuk membayar itu,” ujar Purbaya saat ditemui di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 15 Oktober 2025.

Kementerian Keuangan sudah tidak lagi menerima dividen BUMN sebagai penerimaan negara mulai tahun ini karena seluruhnya telah dialihkan ke Danantara.

Kebijakan tersebut membuat pemerintah kehilangan potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sekitar Rp 80 triliun. Akibatnya, realisasi PNBP 2025 diperkirakan hanya mencapai Rp 477,2 triliun atau 92,9 persen dari target APBN sebesar Rp 513,6 triliun.

Polemik Utang Kereta Cepat Whoosh

Selama pembangunan, KCJB yang semula dijanjikan sebagai kerja sama murni antarperusahaan (business to business) itu akhirnya harus mengandalkan dana APBN untuk menyelamatkan keberlanjutannya.

Sejak awal, banyak pihak menilai proyek ini berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari bagi BUMN yang dilibatkan. Mereka menyoroti perencanaan keuangan yang dinilai terlalu optimistis serta pembengkakan biaya yang terus terjadi selama masa konstruksi.

Kini, meski proyek tersebut telah beroperasi selama dua tahun, masalah baru muncul, yakni PT KCIC harus mencicil utang pokok dan bunga ke pihak China. Jumlah investasi pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung menembus sekitar 7,27 miliar dollar AS atau Rp 120,38 triliun (kurs Rp 16.500).

Dari total investasi tersebut, sekitar 75 persen dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB), dengan bunga sebesar 2 persen per tahun. Utang pembangunan Whoosh dilakukan dengan skema bunga tetap (fixed) selama 40 tahun pertama.

Bunga utang KCJB ini jauh lebih tinggi dari proposal Jepang yang menawarkan 0,1 persen per tahun. Total investasi tersebut sudah menghitung tambahan biaya akibat pembengkakan biaya atau cost overrun yang mencapai 1,2 miliar dollar AS. Namun bunga utang tambahan ini lebih tinggi, yakni di atas 3 persen per tahun.

Sumber Pendanaan Proyek Whoosh

Sebagian besar pembiayaan proyek Whoosh memang ditopang dari pinjaman CDB, ditambah penyertaan modal pemerintah lewat APBN, serta kontribusi ekuitas konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China sesuai porsi sahamnya masing-masing di KCIC.

Lebih dari separuh biaya untuk menutup cost overrun berasal dari tambahan utang CDB. Sisanya berasal dari patungan modal BUMN Indonesia dan pihak China yang menggarap proyek ini.

Cost overrun itu ditanggung oleh kedua belah pihak, di mana 60 persen ditanggung oleh konsorsium Indonesia dan 40 persen ditanggung oleh konsorsium China.