Dinamika Internal PBNU yang Mengkhawatirkan
JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tengah menghadapi tantangan besar dalam hal struktur dan tata kelola organisasi. Beberapa pihak mulai menyuarakan kekhawatiran terkait kepemimpinan Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau lebih dikenal sebagai Gus Yahya. Terdapat desakan agar ia mundur dari jabatannya, yang memicu polemik di kalangan pengurus NU.
Seorang akademisi sekaligus ulama muda NU asal Australia, Nadirsyah Hosen atau dikenal dengan panggilan Gus Nadir, menilai bahwa organisasi sedang menghadapi masalah serius. Ia menyoroti ketidakharmonisan antara pucuk pimpinan PBNU dengan sejumlah pengurus inti. Menurutnya, konflik internal telah membuat organisasi tidak berjalan sesuai harapan.
Gus Nadir menunjukkan bahwa hubungan antara Gus Yahya dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, serta Bendahara Umum Gudfan Arif Ghofur sudah tidak harmonis sejak lama. Bahkan, hubungan Gus Yahya dengan Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, juga disebut tidak baik.
Menurutnya, situasi ini menyebabkan tidak adanya sinergi dalam menjalankan fungsi organisasi secara kolektif. Ia menegaskan bahwa perlu adanya penyelesaian masalah ini agar PBNU dapat kembali berjalan sesuai mekanisme AD/ART.
Selain itu, Gus Nadir juga mengungkap adanya ketidaksinkronan antara Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU. Ia menjelaskan bahwa masalah bukan hanya terjadi pada level Ketua Umum, tetapi juga melibatkan posisi-posisi penting lainnya dalam struktur organisasi.
“Surat resmi Syuriyah hanya ditandatangani oleh Rais ‘Am, sementara surat Tanfidziyah hanya diteken oleh Ketum,” ujarnya. Menurutnya, aturan organisasi mengharuskan empat tanda tangan: Rais ‘Am, Katib ‘Am, Ketum, dan Sekjen.
Ia menilai bahwa jika prosedur dasar organisasi saja tidak dijalankan, maka masalah yang terjadi jauh lebih serius daripada sekadar miskomunikasi. Dalam pandangannya, PBNU tidak hanya macet secara organisasi, tetapi juga sudah tidak berfungsi.
“Ini bukan lagi soal organisasi yang macet. Ini soal mesin yang mati dan dibiarkan karatan selama berbulan-bulan,” katanya. Kondisi ini, menurutnya, menyebabkan pengelolaan jamaah Nahdliyin menjadi terabaikan. Setiap kubu di PBNU berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi.
“Masing-masing kubu berjalan sendiri. Jama’ah Nahdliyin bergerak tanpa arahan, tanpa bimbingan, tanpa kepemimpinan PBNU. Roda terkunci mati,” tambahnya.
Krisis yang terjadi dinilai berbahaya bagi marwah organisasi besar seperti NU. Gus Nadir menilai bahwa masalah ini tidak hanya teknis, tetapi juga menyentuh prinsip dasar yang selama ini dijunjung NU.
“Jam’iyyah ini sakit parah. Kehilangan marwah, kehilangan arah. Bukan melayani jama’ah, bahkan menggerakkan roda organisasi saja sudah tak sanggup. AD/ART sudah jadi dokumen mati,” ucapnya.
Selain itu, ia juga mengkritik pola kebijakan PBNU yang dinilai tidak sesuai dengan semangat perjuangan NU. Tagline “menghidupkan kembali Gus Dur” justru dianggap tidak diwujudkan dengan sikap kritis. Ia menilai bahwa PBNU tidak mampu mengelola dirinya sendiri dengan baik.
Gus Nadir juga menyampaikan kekecewaannya terhadap kebijakan PBNU yang terlalu fokus pada isu tambang dan mengundang tokoh pro zionis. Menurutnya, ini bertentangan dengan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung NU.
“Mengaku berkhidmat untuk bangsa, malah gaduh sendiri soal tambang. Bicara ingin membangun peradaban dunia, tapi yang diundang justru tokoh zionis perusak peradaban,” katanya.
Lebih lanjut, ia merasa prihatin terhadap perjalanan Satu Abad NU yang justru dilalui dengan banyak persoalan serius. Baginya, Satu Abad NU bukan dirayakan dengan kejayaan, tetapi dilewati dengan perih dan prihatin yang menyesakkan dada.












