Hampir Sepekan Dibombardir, Ratusan Warga Gaza Lari dari Rumah

Situasi Kemanusiaan di Gaza yang Mengkhawatirkan

Wilayah Zeitoun, yang dahulu berpenduduk sekitar 50.000 orang, kini hampir kosong setelah sebagian besar warganya meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan di sekolah dan bangunan umum. Sayangnya, kondisi ini tidak membawa keamanan atau kenyamanan bagi para pengungsi, karena akses terhadap makanan maupun air bersih sangat terbatas.

Kondisi di Gaza saat ini sangat memprihatinkan, dengan ribuan warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah mereka akibat serangan udara dan ancaman serangan darat oleh militer Israel. Pengungsian besar-besaran ini terutama terjadi di wilayah timur Kota Gaza, seperti Zeitoun, yang telah dibombardir selama enam hari berturut-turut. Alasan utama warga mengungsi adalah ancaman serangan darat yang diumumkan secara terbuka oleh Israel, termasuk rencana pendudukan penuh atas Kota Gaza.

Serangan udara dan artileri yang terus-menerus menghancurkan infrastruktur dan rumah-rumah warga membuat situasi semakin memburuk. Ketakutan akan eskalasi konflik yang lebih luas dan berbahaya juga menjadi alasan utama warga untuk bergegas meninggalkan wilayah mereka. Banyak warga Gaza bergerak ke arah selatan, terutama menuju Khan Younis dan Rafah, dua wilayah yang dianggap relatif lebih aman sebagai tujuan pengungsi. Namun, kedua kota tersebut kini kelebihan kapasitas, dengan banyak pengungsi yang harus tidur di jalanan, lapangan terbuka, bahkan di reruntuhan bangunan.

Lebih dari 1,35 juta orang membutuhkan perlengkapan penampungan darurat. PBB mengecam tindakan Israel yang melarang masuknya bantuan tenda selama lebih dari lima bulan, yang memperburuk kondisi pengungsi. Banyak warga Gaza telah mengalami pengungsian berulang kali, kehilangan akses terhadap air bersih, makanan, dan layanan kesehatan.

Pengungsian Besar-Besaran dari Zeitoun

Zeitoun, yang dulunya dihuni sekitar 50.000 orang, kini hampir kosong setelah sebagian besar warganya kabur mencari perlindungan ke sekolah dan bangunan umum meski tanpa akses makanan maupun air bersih yang cukup. “Ledakan terus-menerus membuat kami tidak bisa tidur. Kami hanya mencoba bertahan hidup,” kata Ghassan Kashko (40), seorang warga yang berlindung di sekolah setempat.

Pengungsian besar-besaran dari Zeitoun terjadi di tengah kondisi infrastruktur Kota Gaza yang telah rusak parah akibat perang. Pemerintah kota mencatat 80 persen fasilitas publik hancur, sementara rumah sakit yang tersisa hanya beroperasi di bawah 20 persen kapasitas karena kekurangan obat dan perlengkapan medis. Kondisi ini semakin diperparah lantaran militer Israel terus melancarkan serangan udara selama enam hari berturut-turut.

Buntut serangan ini membuat pengungsi asal Zeitoun memilih bergerak lebih jauh ke Khan Younis dan Rafah. Dua wilayah di selatan Gaza yang sejak lama menjadi tujuan utama pengungsian, menampung hampir 90 persen populasi yang telah kehilangan rumah.

Pengungsi Gaza Selatan Hadapi Krisis

Namun, karena kapasitas penampungan jauh dari cukup, banyak keluarga tidur di jalanan, lapangan terbuka, bahkan di reruntuhan bangunan yang masih berdiri. Ini lantaran kamp-kamp di sana sudah kelebihan kapasitas, membuat ribuan keluarga terpaksa tinggal di tenda darurat atau ruang terbuka. Lonjakan jumlah pengungsi pendatang juga turut membuat kedua kota itu menghadapi krisis kemanusiaan serius dengan minimnya tenda, makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.

“Khan Younis dan Rafah sudah sesak. Pengungsi dari Zeitoun datang setiap hari, dan kami tidak punya cukup tempat untuk menampung mereka,” ujar salah satu relawan setempat. Bagi para pengungsi dari Zeitoun, tempat itu hanyalah persinggahan penuh ketidakpastian di tengah perang yang belum menunjukkan tanda akan berakhir. Akan tetapi dengan kapasitas yang kian terbatas, Khan Younis dan Rafah kini menjadi simbol penderitaan warga Gaza.

Israel Bersiap Kuasai Gaza

Keputusan warga meninggalkan rumah tidak hanya dipicu oleh serangan udara dan artileri Israel yang berlangsung terus-menerus. Tetapi juga oleh ketakutan akan serangan darat setelah Israel mengumumkan rencana menguasai Kota Gaza. Dalam keterangan resminya, Militer Israel secara terbuka menyatakan akan memindahkan sekitar satu juta warga dari Kota Gaza ke wilayah selatan. Israel beralasan langkah ini bertujuan melindungi warga sipil dari zona pertempuran. Namun, organisasi hak asasi manusia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pengusiran paksa.

Peringatan ini menjadi sinyal jelas bahwa Israel akan melancarkan pendudukan militer penuh di wilayah berpenduduk 2,3 juta warga Palestina. Meski keputusan resmi menyebut pendudukan hanya akan difokuskan pada Kota Gaza pada tahap awal, analis militer menilai operasi ini akan meluas ke seluruh wilayah Jalur Gaza yang belum dikuasai Israel. Dengan memberlakukan pendudukan penuh, pemerintah Israel berharap cara ini dapat mensterilkan Jalur Gaza dari cengkraman Hamas. Sehingga tidak lagi menjadi basis kekuatan bersenjata yang mengancam keamanan nasional Israel.

Reaksi Internasional

Meski Netanyahu menyebut langkah ini sebagai bentuk “migrasi sukarela” yang menurutnya akan memudahkan operasi militer Israel di Gaza tanpa resiko korban sipil, banyak pihak menilai kebijakan tersebut sejatinya adalah pengusiran paksa yang melanggar hukum internasional. Kelompok HAM internasional, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, menyatakan kebijakan ini adalah deportasi massal ilegal. Ini karena pemindahan massal warga Gaza ke negara lain berpotensi menciptakan gelombang pengungsi baru dengan kondisi hidup yang tidak pasti.

Seruan untuk gencatan senjata semakin menguat, termasuk dari mediator seperti Mesir dan Qatar. Kondisi ini mencerminkan krisis kemanusiaan yang mendalam dan kompleks.