JAKARTA – Meskipun tren produktivitas manufaktur masih dalam fase kontraksi, permintaan terhadap bahan baku penolong dan barang modal tetap meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku industri tetap waspada menghadapi tantangan di tengah ketidakpastian ekonomi hingga akhir tahun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku penolong pada periode Januari-Juni 2025 naik sebesar 2,56% secara year-on-year (yoy) menjadi US$82,75 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai US$80,69 miliar. Selain itu, impor barang modal juga mencatat kenaikan signifikan sebesar 20,90% yoy, dengan total nilai mencapai US$23 miliar dibandingkan US$19,03 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Menurut Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ariyo DP Irhamna, peningkatan impor bahan baku dan barang modal saat PMI manufaktur kontraksi mengindikasikan dua hal penting:
-
Strategi Front-Loading untuk Mengamankan Stok
Sebagian pelaku usaha melakukan front-loading impor untuk memastikan stok tersedia di tengah ketidakpastian harga global dan fluktuasi kurs rupiah. Meski PMI manufaktur Indonesia terkontraksi selama empat bulan beruntun, pengusaha tetap mempersiapkan diri untuk ekspansi di tengah kondisi global yang tidak pasti.
-
Investasi Berbasis Peluang Ekspor
Sektor tertentu seperti otomotif, makanan-minuman, dan elektronik masih melanjutkan investasi karena melihat peluang ekspor pasca penurunan tarif. Namun, pembelian barang modal belum sepenuhnya mencerminkan optimisme luas, melainkan strategi antisipatif.
Ariyo memproyeksikan bahwa pemulihan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia baru akan terjadi pada kuartal I atau II 2026.
Impor Biji Gandum untuk Negosiasi Tarif ke AS
Di tengah penerapan tarif bea masuk ke Amerika Serikat (AS), sektor makanan masih optimistis. Impor bahan baku terus ditingkatkan, bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga sebagai langkah negosiasi agar tarif resiprokal dapat diturunkan.
Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) telah menandatangani kesepakatan impor biji gandum AS selama lima tahun ke depan. Komitmen tersebut mencakup pengiriman 1 juta ton per tahun senilai US$250 juta hingga 2030. Nilai transaksi selama lima tahun mendatang bisa mencapai US$1,25 miliar atau setara Rp20,2 triliun.
Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies menjelaskan bahwa komitmen impor biji gandum AS bertujuan untuk membantu pemerintah dalam negosiasi tarif bea masuk. Tarif yang sebelumnya sebesar 32% kini turun menjadi 19%.
Pada 2024, impor biji gandum dari AS mencapai 692.882 metrik ton. Tahun depan, jumlah ini akan ditingkatkan menjadi 1 juta metrik ton per tahun hingga 2030.
Tantangan di Sektor Tekstil
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, menyatakan bahwa kondisi industri tekstil masih sulit untuk ekspansi. Tidak ada perubahan signifikan dalam produksi meski konsumsi masyarakat cenderung meningkat.
Farhan mengungkapkan bahwa persaingan di pasar domestik sangat ketat karena produk China yang melakukan dumping atau predatory pricing. Hal ini membuat daya saing industri dalam negeri terganggu.
“Saat ini kami masih habiskan stok yang ada. Pasar domestik penuh dengan produk bahan baku impor,” ujarnya.