Konsensus Suku Bunga BI Rate di Tengah Pertumbuhan Ekonomi Melebihi Perkiraan

Prediksi BI Menjaga Suku Bunga Acuan di Level 5,25%

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan di tingkat 5,25% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada hari ini.

Prediksi ini didasarkan pada survei konsensus yang dilakukan oleh Bloomberg, di mana sebanyak 30 dari 39 ekonom memperkirakan BI akan menjaga suku bunga acuan.

Sementara sisanya yaitu 9 ekonom memprediksi adanya penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5%.

Salah satu ekonom yang memproyeksikan BI akan menahan suku bunga adalah Teuku Riefky, ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI.

Ia menyatakan bahwa inflasi umum masih menunjukkan tren kenaikan sejak Mei 2025, dengan angka terbaru mencapai 2,37% secara tahunan pada Juli 2025.

Meskipun ada aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia sebesar US$1,08 miliar dalam beberapa pekan terakhir, serta penguatan rupiah hingga 1,04% secara bulanan, ia tetap mengingatkan bahwa tarif resiprokal Trump yang mulai berlaku pada awal Agustus dapat memicu tekanan inflasi di beberapa bulan mendatang.

Oleh karena itu, ia menilai penting bagi BI untuk tetap menjaga suku bunga acuan di level 5,25%.

Di sisi lain, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI), Josua Pardede, memperkirakan bahwa BI akan menurunkan suku bunga acuan. Ia berargumen bahwa inflasi saat ini berada di bawah target BI, yaitu 2–4%.

Selain itu, suku bunga kebijakan riil ekspektasian (real policy rate ex-ante) masih positif di kisaran +2,5–3%, sehingga BI dinilai masih memiliki ruang untuk pelonggaran.

Ia juga menilai bahwa tekanan biaya seperti pangan dan energi semakin mereda, sementara output gap belum sepenuhnya tertutup. Hal ini memberi dasar untuk penurunan bertahap suku bunga.

Indikator Ekonomi yang Mengindikasikan Stabilitas

Selain itu, rupiah menguat sekitar 1,3% month-to-date (MtD) terhadap dolar AS sejak akhir Juli hingga 19 Agustus, menjadikannya salah satu top-3 mata uang Asia. Imbal hasil SBN tenor 10 tahun juga turun sekitar 15 bps ke kisaran 6,4–6,5%.

Menurut Josua, indikator-indikator ini menunjukkan bahwa premi risiko (risk premium) menyempit dan cadangan devisa tetap terkendali, sehingga ruang pelonggaran tidak berisiko memicu volatilitas pasar valuta asing.

Lebih lanjut, lelang SRBI tenor 12 bulan menunjukkan imbal hasil rata-rata tertimbang (weighted average yield) pemenang turun sekitar 36 bps sejak 18 Juli hingga 15 Agustus. Pergerakan kurva SRBI yang menurun juga mengindikasikan bahwa stance moneter BI semakin longgar.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang tetap stabil di kisaran 5% dan pertumbuhan kredit yang tinggi, pemangkasan 25 bps diharapkan bisa membantu transmisi ke suku bunga kredit tanpa mengorbankan stabilitas.

Pertumbuhan Ekonomi yang Diatas Ekspektasi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2025 tumbuh di atas ekspektasi, dengan laju tercepat dalam dua tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% secara tahunan (year on year) dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Namun, meski angka tersebut impresif, analis masih menyimpan keraguan terhadap data tersebut. Pertumbuhan kredit yang seret dan manufaktur yang belum bergairah menjadi catatan penting.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mempertanyakan data pertumbuhan ekonomi yang berada di atas ekspektasi. M. Fadhil Hasan, ekonom senior Indef, menilai bahwa biasanya konsensus proyeksi para ekonom maupun lembaga tidak jauh berbeda dari realisasi ekonomi.

Namun, pada kuartal II/2025, para ekonom memperkirakan pertumbuhan sekitar 4,8%, sedangkan realisasinya mencapai 5,12%. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ada perbaikan metodologi atau basis data yang perlu diperhatikan.

Rupiah Menguat, BI Tetap Waspada

Rupiah tercatat menguat lebih dari 1% terhadap dolar AS sepanjang Agustus, berkat arus modal asing yang deras ke obligasi pemerintah dan pelemahan dolar global.

Meskipun demikian, BI tetap waspada dalam menjaga selisih suku bunga dengan The Federal Reserve, yang diperkirakan akan mulai menurunkan bunga bulan depan. Selisih ini dianggap penting untuk meredam risiko arus modal keluar.

Ekonom Citigroup Helmi Arman menambahkan bahwa tren penurunan kredit, tingginya suku bunga riil, serta minimnya tekanan terhadap rupiah dapat memberi peluang bagi BI untuk lebih cepat beralih ke tingkat suku bunga netral. RDG Agustus diyakini sebagai titik penting dalam menentukan arah kebijakan moneter BI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *