Kritik Pedas dari Cucu Bung Hatta Terhadap Kondisi Indonesia
Pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Gustika Jusuf Hatta, cucu dari Proklamator Republik Indonesia, Mohammad Hatta, memilih untuk berkabung. Ia menyampaikan kritik keras terhadap situasi bangsa saat ini, yang menurutnya tidak layak dirayakan dengan penuh kegembiraan.
Gustika mengunggah foto di akun Instagram pribadinya (@gustikajusuf), di mana ia terlihat mengenakan kebaya hitam dan batik motif slobog. Di belakangnya, tampak putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo (Didit Prabowo). Pakaian yang dipakai Gustika memiliki makna tersendiri dalam budaya Jawa. Motif slobog biasanya digunakan dalam suasana duka, melambangkan pelepasan dan pengantaran.
“Meskipun bukan hari Kamis, pagi ini aku memilih kebaya hitam yang sengaja kupadukan dengan batik slobog untuk memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam budaya Jawa, kain bukan sekadar busana, melainkan sebuah isyarat,” tulisnya dalam caption unggahannya.
Ia menjelaskan bahwa pemakaian motif slobog merupakan bentuk protes diam-diam, sekaligus cara untuk menyampaikan perasaannya sebagai bagian dari warisan budaya Jawa. Ia juga berharap bisa tetap memakai pakaian tersebut selama lima tahun ke depan.
Keprihatinan atas Pelanggaran HAM
Gustika menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi Indonesia, khususnya terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto belum sepenuhnya menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalunya, termasuk keterlibatannya dalam penculikan aktivis pada era Orde Baru.
Selain itu, ia juga menyentil Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang dikaitkan dengan masalah konstitusi dalam pencalonannya sebagai calon presiden pada Pilpres 2024.
“Di hari kemerdekaan tahun ini, rasa syukurku bercampur dengan keprihatinan atas luka HAM yang belum tertutup. Bahkan kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi,” tulisnya.
Kritik terhadap Program Pemerintahan
Gustika juga mengkritik beberapa program pemerintahan Prabowo-Gibran, terutama terkait militerisasi dan penulisan ulang sejarah. Ia menyebut bahwa militerisasi semakin merasuk ke ruang sipil, sedangkan hak-hak asasi rakyat sering kali dilucuti oleh penguasa yang tidak memiliki empati.
Menurutnya, pemerintah ingin menulis ulang sejarah bangsa dengan memutihkan dosa-dosa para penguasa dan kroni mereka. Ia mengecam tindakan aparat yang terus-menerus melakukan kekerasan, seperti kejadian di Pati yang baru-baru ini menewaskan jiwa.
“Jujur, tidak sampai hati merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke-80 tanpa rasa iba, dengan peristiwa demi peristiwa yang mengkhianati nilai kemanusiaan yang datang bertubi-tubi,” tulisnya.
Perayaan Kemerdekaan yang Berbeda
Gustika menegaskan bahwa kritik dan keprihatinannya terhadap Indonesia lahir dari rasa cinta yang mendalam. Ia berpandangan bahwa perayaan kemerdekaan tidak harus selalu penuh kegembiraan dan hura-hura, tetapi bisa juga menjadi momen untuk menagih janji konstitusi.
“Kedukaanku lahir dari rasa cinta yang mendalam pada Republik ini. Bagiku, berkabung bukan berarti putus asa; dan merayakan bukan berarti menutup mata. Berkabung adalah jeda untuk jujur menatap sejarah, memelihara ingatan, dan menagih hak rakyat dan janji-janji konstitusi kepada Republik Indonesia.”
Ia juga menjelaskan bahwa merayakan adalah memanjatkan doa dan harapan, seperti makna kain slobog itu sendiri, yang mengingatkan pada batas antara yang pergi dan yang tinggal. Simbol bahwa dari duka pun kita bisa menyemai harapan.
“Panjang umur, Republik Indonesia-ku.”
Bonus: Ia juga menyertakan slide terakhir yang menampilkan penjilat rezim dan menteri HAM yang sedang joget di atas penderitaan rakyat.