Sejarah Masjid Al Abror dan Peran Pentingnya dalam Pembentukan Kabupaten Sidoarjo
SIDOARJO – Masjid Al Abror yang berada di Kampung Kauman, Kecamatan Sidoarjo, memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan Islam di daerah ini.
Lokasinya kini berada di samping belakang pertokoan Matahari Gajahmada, namun secara visual masjid ini menampilkan kesan megah dengan warna hijau dan kuning yang mencolok.
Kabupaten Sidoarjo sering disebut sebagai kota religi karena sejarah panjangnya terkait penyebaran agama Islam, bahkan sejak masa penjajahan Hindia-Belanda.
Salah satu titik awal penyebaran Islam di wilayah ini adalah melalui keberadaan Masjid Al Abror. Dalam beberapa sumber sejarah, dikatakan bahwa masuknya Islam ke Sidoarjo dimulai dari masjid ini yang berada di Jalan Gajahmada.
Masjid Al Abror memiliki sejarah yang cukup menarik. Dari informasi yang diperoleh, masjid ini dulunya merupakan masjid tiban, yaitu sebuah bangunan yang hanya memiliki kerangka pondasi tanpa struktur bangunan. Pemugaran terakhir dilakukan pada tahun 2007, sementara berdirinya masjid ini telah tercatat sejak tahun 1678.
Menurut Solihuddin, salah satu pengurus masjid, pembangunan masjid ini tidak lepas dari peran empat orang yang kini makamnya berada di depan masjid. Salah satunya adalah Mbah Mulyadi, seorang tokoh yang berasal dari Jawa Tengah.
Ia datang ke kampung Kauman setelah mengalami pemberontakan Trunojoyo. Di tempat inilah ia menemukan pondasi masjid yang kemudian dibangun bersama tiga orang lainnya, yakni Mbah Badriyah, Mbah Sayid Salim, dan Mbah Musa.
Masjid Al Abror juga memiliki hubungan erat dengan sejarah pembentukan Kabupaten Sidoarjo. Awalnya, wilayah ini bernama Kadipaten Sidokare. Masjid yang terletak di sebelah timur Sungai Jetis ini pernah mengalami pemugaran pada tahun 1859 oleh Bupati Pertama Sidokare, R Notopuro (RTP Tjokronegoro).
Meski beberapa kali mengalami renovasi, bagian yang masih utuh hanyalah gerbang utara yang bentuknya tetap dipertahankan. Meskipun atap kubah masjid kini lebih megah, pintu gerbang di sebelah utara tetap menjadi ciri khas yang tidak pernah berubah.
Secara umum, Masjid Al Abror menempati lahan seluas 700 meter persegi dengan konsep budaya Jawa yang kental. Hal ini terlihat dari tiga atap yang menjadi simbol iman, ikhsan, dan Islam. Di bagian barat masjid, terdapat makam para pendiri yang sering dikunjungi oleh peziarah.
Salah satu tradisi yang tetap dilestarikan hingga saat ini adalah ngaji kitab kuning yang rutin dilaksanakan setiap hari selepas shalat Maghrib. Tradisi ini menjadi bukti bahwa Masjid Al Abror tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat aktivitas keagamaan dan budaya masyarakat sekitar.