Festival Budaya Sumba: Ruang Hidup untuk Tradisi yang Terus Bersemangat
SUMBA – Di tengah pemandangan sabana yang luas dan rumah adat dengan atap alang-alang, Kampung Adat Prailiu di Sumba Timur menjadi tempat berlangsungnya Festival Budaya Sumba pada hari Sabtu, 27 September 2025.
Acara ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga menjadi ruang hidup bagi budaya yang terus berkembang serta jembatan kolaborasi antar generasi dan latar belakang.
Festival ini merupakan hasil kerja sama antara Tim Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (Pengmas) Departemen Prancis Universitas Indonesia (DPIS UI) dan Tim Ekspedisi Patriot UI Output 1 Melolo.
Kedua tim ini selama beberapa waktu tinggal di Sumba Timur untuk menggagas program pelestarian budaya berbasis komunitas.
Dengan semangat “menenun ingatan dan membangun masa depan,” acara ini tidak hanya menampilkan keindahan seni Sumba, tetapi juga menyampaikan pesan kuat tentang identitas, keterlibatan masyarakat, serta pentingnya menjaga tradisi dalam arus perubahan zaman.
Kolaborasi yang terjalin melibatkan sejumlah tokoh seperti Dr. Hendra Kaprisma, Dr. Suma Riella Rusdiarti, Diah Kartini Lasman, M.Hum, Sadina Aimee Prasetya, Najwa ‘Dhya Ulhaq Utama Sihombing dari Tim Pengmas DPIS UI, serta Edelleit Rose, M.Hum, Salsabila Erlindita, S.Hum, Malikhatul Ngazizah, dan Siti Gea Arzetty dari Tim Ekspedisi Patriot UI Output 1 Melolo.
Pendekatan partisipatif yang digunakan oleh tim ini membuat kegiatan tidak hanya meriah secara visual, tetapi juga bermakna secara substansi, dengan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam melestarikan budaya mereka sendiri.
Festival dibuka dengan musik tradisional Junga, yang mengalun hangat di antara rumah adat Prailiu. Suasana menjadi lebih haru ketika anak-anak sekolah pesisir menyanyikan lagu-lagu daerah dengan penuh perasaan, menyuarakan harapan dan kebanggaan dalam kesederhanaan.
Kisah sejarah kampung adat dibawakan oleh Queesha, siswi SMAN 2 Waingapu, dalam format storytelling yang menarik dan edukatif. Sementara itu, Kristopel Bili dari Sekolah Seni Wanno menyihir penonton lewat pembacaan puisi bertema tanah leluhur dan jati diri.
Puncak pertunjukan diisi oleh Sanggar Tari Prailiu, yang membawakan tarian tradisional khas Sumba dengan energi yang menggelegar, mengajak penonton menyelami filosofi hidup masyarakat Sumba yang menyatu dengan alam dan arwah leluhur.
Acara ditutup dengan flash mob Tabola Bale, sebuah tarian massal yang menjadi simbol kebersamaan, kebahagiaan, dan harapan akan keberlanjutan tradisi.
“Festival ini memberi kebahagiaan tersendiri karena kita bisa merayakan budaya Sumba bersama-sama. Melihat anak-anak, komunitas lokal, dan berbagai pihak berkolaborasi dalam satu panggung menunjukkan bahwa budaya Sumba hidup dan terus berkembang,” ujar Dr. Hendra Kaprisma, Ketua Tim Pengmas DPIS UI dan Patriot UI 2025.
Selain menampilkan seni pertunjukan, masyarakat Kampung Adat Prailiu juga mempersembahkan upacara penyambutan adat yang sarat nilai spiritual dan filosofis.
Tradisi ini menjadi warisan hidup yang diwariskan langsung dari para tetua kepada generasi muda, sebuah proses belajar yang tidak bisa ditemukan di ruang kelas mana pun.
“Kami bangga bisa menunjukkan budaya kami kepada banyak orang. Semoga kegiatan seperti ini terus berlangsung agar warisan budaya Sumba semakin dikenal dan dicintai,” kata Mama Renol, tokoh masyarakat Kampung Prailiu.
Festival Budaya Sumba ini menjadi pengingat kuat bahwa pelestarian budaya bukanlah tanggung jawab satu pihak, melainkan kerja sama seluruh elemen masyarakat mulai dari akademisi, pelajar, komunitas lokal hingga pemerintah.
Melalui seni, cerita, dan interaksi nyata, budaya Sumba tidak hanya dikenang, tetapi dihidupkan kembali, tumbuh, dan berdialog dengan zaman, tanpa kehilangan akar dan identitasnya.
Kegiatan ini diharapkan menjadi awal dari lebih banyak ruang perjumpaan, kolaborasi lintas wilayah, dan gerakan kolektif dalam menjaga mozaik kekayaan budaya Indonesia yang luar biasa.