Mengapa Wanita Sering Jadi Pendamping Emosional Pasangan?

Peran Perempuan sebagai Pendengar dan Penenang dalam Hubungan

Banyak perempuan merasa bahwa mereka sering menjadi tempat curhat, penenang, bahkan pemberi solusi untuk pasangan. Jika kamu merasakan hal ini, kamu tidak sendirian. Studi yang diterbitkan dalam Journal of Marriage and Family pada tahun 2019 menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengambil beban emosional yang lebih besar dalam hubungan, termasuk menjadi pendengar utama dan pengatur suasana hati pasangan. Artinya, peran sebagai “therapist” bukan hanya kebetulan, tetapi sering kali dilekatkan pada perempuan.

Fenomena ini membuat banyak orang bertanya-tanya: mengapa perempuan sering menjadi “therapist” bagi pasangannya? Apakah karena sifat alami perempuan yang lebih empatik, atau karena budaya yang menempatkan perempuan sebagai penjaga emosi dalam hubungan? Berikut beberapa sudut pandang yang bisa membantu menjawab pertanyaan ini.

Kecenderungan Empati yang Lebih Tinggi

Secara biologis, perempuan cenderung memiliki tingkat empati yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Neuroscience (Christov-Moore et al., 2014), otak perempuan menunjukkan aktivitas lebih besar di area yang berkaitan dengan empati dan pengenalan emosi. Hal ini membuat perempuan lebih peka terhadap perasaan pasangan dan mudah berperan sebagai pendengar yang suportif. Kemampuan ini sering kali menjadi dasar dari peran sebagai “therapist” dalam hubungan.

Ekspektasi Sosial dan Budaya

Sejak kecil, perempuan sering diasuh untuk menjadi penyayang, sabar, dan pengertian. Nilai-nilai ini membuat perempuan terbiasa memposisikan diri sebagai “penjaga emosi” dalam hubungan. Studi dalam Gender & Society (2018) menunjukkan bahwa perempuan lebih sering diharapkan untuk mengelola kesejahteraan emosional keluarga dibanding laki-laki. Oleh karena itu, peran sebagai “therapist” sering kali bukan hanya pilihan pribadi, tetapi juga hasil dari konstruksi sosial yang telah ada sejak lama.

Pasangan Lebih Nyaman Buka Diri ke Perempuan

Laki-laki sering diajarkan untuk menekan emosi sejak kecil, sehingga sulit mengekspresikan kerentanan. Keberadaanmu sebagai pasangan yang aman membuat mereka akhirnya bisa terbuka. Studi dalam Journal of Men’s Studies (2015) menyebutkan bahwa banyak pria merasa lebih nyaman berbagi perasaan dengan pasangannya karena tidak takut dihakimi. Maka, wajar jika kamu sering menjadi tempat pelarian emosionalnya.

Naluri Perawatan dalam Hubungan

Naluri merawat bukan hanya berlaku pada anak, tapi juga pada pasangan. Ketika melihat pasangan stres atau tertekan, naluri ini secara otomatis membuatmu ingin menenangkan. Menurut Attachment Theory (Bowlby, 1988), ikatan emosional dalam hubungan romantis sering kali melibatkan salah satu pihak berperan sebagai “safe haven” bagi yang lain. Kamu mungkin mengambil peran ini tanpa sadar, karena rasa sayang mendorongmu untuk menjadi pendukung utama.

Risiko Burnout Emosional untuk Perempuan

Meski terdengar mulia, selalu menjadi “therapist” juga memiliki risiko. Kamu bisa mengalami kelelahan secara emosional. Studi dalam Journal of Marriage and Family (2019) menyoroti adanya “emotional labor gap” dalam hubungan heteroseksual, di mana perempuan lebih sering menanggung beban mendengarkan, menenangkan, dan merawat. Jika tidak diseimbangkan, hal ini bisa membuatmu merasa terbebani, terutama jika tidak didukung balik oleh pasangan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan dalam hubungan agar tidak terjadi kelelahan emosional.