Perbedaan Warteg dan Warung Ampera di Pekanbaru
JAKARTA – Hidup jauh dari kampung halaman sering kali membuat seseorang merindukan hal-hal kecil yang sebelumnya terasa biasa saja. Bagi saya, bukanlah bangunan tinggi atau suasana kota yang paling saya rindukan dari Jawa, melainkan warteg dengan sayur bening, tumis jamur, dan kentang mustofa.
Empat tahun tinggal di Pekanbaru, saya harus puas hanya berteman dengan warung Ampera dan daun singkong yang selalu ada.
Warteg: Rasa Kebiasaan yang Menyenangkan
Ketika berbicara tentang warteg, bayangan saya langsung melayang. Pagi, siang, atau malam, cukup berjalan sebentar pasti akan menemukan warteg di ujung gang.
Menu yang ditawarkan berderet di etalase kaca: sayur bayam bening, orek tempe, tumis jamur, semur jengkol, kentang mustofa, serta lauk sederhana tapi membuat bahagia seperti telur dadar, tempe goreng, atau ikan tongkol balado.
Yang membuat nyaman adalah variasinya. Setiap kali mampir, saya bisa memilih menu sesuka hati. Hari ini mungkin sayur lodeh, besok bisa tumis kangkung, lusa ganti capcay. Pokoknya, soal sayuran, warteg tidak pernah kekurangan stok.
Namun segalanya berubah ketika saya pindah ke Pekanbaru. Di sini, tidak ada warteg. Yang ada hanyalah warung Ampera—istilah lokal untuk warung nasi Padang. Dari luar, sama-sama memiliki etalase kaca. Tapi begitu melihat menunya, perbedaannya terasa sekali.
Warung Ampera menawarkan lauk khas Minang yang sudah sangat dikenal: rendang, ayam pop, gulai tunjang, ayam gulai, dan sambal ijo. Rasanya mantap, porsinya melimpah, tetapi kalau bicara soal sayur, pilihan terbatas. Setiap kali makan di sana, sayurnya hanya itu-itu saja: daun singkong rebus atau tumisan kol.
Dua minggu pertama tinggal di Pekanbaru, pencernaan saya langsung protes. Bayangkan, tubuh yang terbiasa dengan serat dari berbagai jenis sayur tiba-tiba hanya disuguhi daun singkong.
Akibatnya, perut terasa penuh dan kembung. Momen itu membuat saya sadar: urusan makanan bukan sekadar soal kenyang, tapi juga keseimbangan.
Dari Nostalgia ke Dapur Sendiri
Lucunya, rindu pada warteg muncul tidak hanya karena masalah perut. Ada sisi emosional yang ikut bermain.
Pernah suatu sore, setelah seharian bekerja, saya membayangkan betapa nikmatnya jika bisa makan nasi hangat, sayur bayam bening, tempe goreng, dan sambal terasi. Bayangan sederhana itu membuat air liur menetes.
Namun realitas berkata lain. Saat saya keluar, yang ditemukan hanya deretan warung Ampera. Lagi-lagi pilihan jatuh pada rendang ayam dengan daun singkong. Saya pun menghela napas panjang. Di titik itu, saya sadar: saya benar-benar merindukan warteg.
Rasa rindu itu akhirnya membawa saya ke dapur. Jika warteg tidak bisa ditemukan, maka warteg harus diciptakan. Saya mulai belanja sayuran. Untungnya, kedai sayur harian di Pekanbaru tetap menyediakan sayuran segar: bayam, kangkung, buncis, bahkan labu siam.
Sudah lama saya tidak rutin masak sendiri. Tapi begitu panci mendidih, aroma bawang merah dan putih mulai harum, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Saat saya mencicip kuah sayur bening bayam buatan sendiri, saya tersenyum. Rasanya persis seperti yang saya cari: sederhana, ringan, tapi bikin lega.
Sejak saat itu, memasak menjadi kunci. Minimal seminggu tiga kali saya masak sendiri. Menu favorit saya tidak muluk-muluk: sayur bayam bening, tempe goreng, sambal terasi, kadang ditambah tahu bacem. Rasanya? Tiada duanya.
Apalagi ketika disantap siang-siang sambil menonton berita, seakan-akan saya sedang duduk di meja makan rumah sendiri di Jawa.
Rumah dalam Sepiring Sayur
Bukan berarti saya menolak warung Ampera. Justru, nasi Padang punya keistimewaannya sendiri.
Rendang yang legit, gulai tunjang yang empuk, sambal ijo yang nendang—semuanya sulit ditolak. Tapi dalam jangka panjang, saya merasa tidak bisa bergantung sepenuhnya pada pola makan itu.
Warteg dan Ampera ibarat dua dunia yang berbeda. Warteg menawarkan variasi sederhana dengan keseimbangan sayur yang menyehatkan, sementara Ampera memberikan kepuasan rasa lewat bumbu kaya rempah dan santan. Dua-duanya enak, tapi tubuh kadang butuh keseimbangan antara “lezat” dan “ringan”.
Dari kerinduan pada warteg ini, saya belajar bahwa makanan bukan sekadar soal perut, melainkan juga identitas. Setiap orang membawa “lidah budaya” masing-masing. Perantau dari Jawa mungkin rindu warteg, perantau Minang mungkin rindu nasi kapau, perantau Bugis mungkin rindu barobbo.
Akhirnya saya sadar, rumah itu bisa diciptakan dari mana saja. Kadang, ia hadir lewat sepiring nasi, semangkuk sayur bening bayam, sepotong tempe goreng, dan sambal terasi yang pedasnya bikin hati hangat.
Pada akhirnya, rindu warteg bukan sekadar soal makanan murah meriah, tapi tentang rasa rumah yang tak tergantikan. Dan di tengah perantauan, sepiring sayur bening bayam dengan tempe goreng hangat bisa jadi cara paling sederhana untuk pulang—meski tanpa benar-benar kembali.