Sosial  

Orang yang Tumbuh dengan Rasa Takut pada Orang Tuanya Biasanya Membawa 8 Luka Emosional Ini Hingga Dewasa, Menurut Psikologi

Pola Asuh yang Membentuk Kecemasan dan Ketakutan

JAKARTA – Pada masa kecil, setiap langkah yang diambil sering kali terasa penuh risiko. Takut berbicara salah, takut membuat kesalahan, atau bahkan takut menyebabkan orang tua marah.

Bagi sebagian anak, rumah bukan lagi tempat aman untuk menjadi diri sendiri, melainkan sebuah lingkungan yang penuh dengan ujian. Dalam situasi seperti ini, cinta sering kali terasa bersyarat dan tidak pasti.

Meskipun waktu terus berjalan dan tubuh tumbuh dewasa, luka dari pola asuh yang menakutkan sering kali tetap melekat dalam diri. Akibatnya, saat dewasa, mereka sering meragukan setiap keputusan yang diambil.

Mereka belajar bahwa pendapat sendiri bisa membawa konsekuensi buruk, sehingga rasa percaya diri semakin melemah. Dalam berbagai aspek kehidupan, baik di dunia kerja, hubungan interpersonal, maupun pilihan hidup pribadi, mereka cenderung mencari validasi dari orang lain sebelum berani mengambil langkah.

Kebiasaan Menyenangkan Orang Lain

Salah satu ciri khas dari individu yang tumbuh dalam lingkungan yang ketat adalah kecenderungan untuk selalu menyenangkan orang lain. Saat kecil, cara terbaik agar tidak dimarahi adalah dengan melakukan apa saja yang diminta oleh orang tua.

Pola ini terbentuk kuat hingga dewasa, menjelma menjadi kebiasaan untuk selalu memenuhi keinginan orang lain, bahkan jika itu menyakitinya sendiri.

Mereka sulit berkata “tidak” dan sering merasa bersalah jika membuat orang lain kecewa. Di balik sikap baik mereka, tersimpan ketakutan lama: takut ditolak dan takut tidak dicintai.

Hal ini membuat mereka terus-menerus mencari persetujuan dari orang lain, meskipun hal tersebut justru dapat merusak kesehatan mental dan emosional mereka.

Merasa Tidak Pernah Cukup Baik

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan standar tinggi tanpa apresiasi akan belajar bahwa kasih sayang harus diperjuangkan.

Saat dewasa, mereka cenderung mengejar kesempurnaan dalam segala hal—karier, hubungan, atau penampilan—namun tetap merasa tidak cukup. Rasa ini sering membuat mereka menghindari perdebatan, bahkan yang sehat, karena takut mengungkapkan perasaan.

Alih-alih berbicara, mereka memilih diam atau mengalah. Namun, emosi yang tertahan bisa menumpuk dan akhirnya memicu frustrasi, kelelahan, atau bahkan ledakan emosi yang tidak terkendali.

Kesulitan Mengekspresikan Emosi

Ketika anak belajar bahwa menangis, marah, atau bersedih dianggap sebagai tanda kelemahan, mereka cenderung menekan semua emosi tersebut ke dalam diri.

Sebagai orang dewasa, mereka mungkin tampak tenang dan kuat, padahal di dalamnya tersembunyi kesulitan untuk merasakan dan mengekspresikan emosi secara sehat.

Akibatnya, mereka sulit membangun kedekatan emosional yang tulus dengan orang lain. Bahkan dengan diri sendiri, mereka belum benar-benar jujur. Ini membuat mereka sulit untuk memahami dan menghadapi perasaan mereka sendiri.

Mudah Merasa Bersalah dan Takut Membuat Orang Lain Kecewa

Anak yang tumbuh dalam sistem “hukuman dan pujian” memiliki sensitivitas tinggi terhadap emosi orang lain. Mereka cepat merasa bersalah, bahkan untuk hal-hal kecil.

Misalnya, ketika teman marah atau pasangan diam, mereka langsung berpikir bahwa mereka yang salah. Rasa bersalah ini tidak berasal dari situasi saat ini, melainkan dari pengalaman masa kecil yang penuh kecemasan terhadap reaksi orang tua.

Kesulitan Membangun Batasan

Dalam keluarga otoriter, anak tidak pernah diajarkan bahwa mereka berhak menolak atau memiliki privasi. Ketika dewasa, mereka kesulitan membedakan mana batas diri dan mana milik orang lain.

Mereka membiarkan orang lain melanggar ruang pribadi karena takut kehilangan kasih sayang atau dianggap egois. Padahal, batas yang sehat bukanlah bentuk penolakan, melainkan cara untuk menjaga keseimbangan antara “aku” dan “kamu”.

Selalu Waspada dan Sulit Merasa Aman

Anak yang tumbuh dalam ketegangan sering kali terbiasa hidup dalam mode “siaga”. Meski tidak ada ancaman nyata, tubuh dan pikiran tetap gelisah—selalu menunggu sesuatu yang buruk terjadi.

Inilah mengapa banyak orang dengan latar belakang masa kecil penuh ketakutan sering mengalami kecemasan kronis, sulit tidur, atau overthinking. Mereka ingin tenang, tapi tubuhnya tidak tahu bagaimana caranya.

Proses Penyembuhan Luka

Menyadari bahwa kita membawa luka emosional bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah awal menuju pemulihan. Psikologi modern menyebut proses ini sebagai reparenting—belajar menjadi “orang tua baru” bagi diri sendiri. Artinya, memberi kasih sayang, pengertian, dan perlindungan yang dulu tidak sempat kita terima.

Penyembuhan bisa dimulai dari hal-hal sederhana: Mengenali emosi tanpa menghakimi, menulis jurnal untuk memahami pola lama, berbicara dengan terapis atau orang yang dipercaya. Dan yang paling penting, belajar memaafkan—bukan untuk melupakan, tapi agar hati bisa beristirahat.

Kesimpulan: Dari Takut Menjadi Tumbuh

Anak yang tumbuh dalam ketakutan mungkin terluka, tapi bukan berarti tidak bisa sembuh. Luka emosional tidak harus menjadi warisan yang kita teruskan.

Dengan kesadaran dan kasih terhadap diri sendiri, kita bisa mengubah pola lama menjadi kehidupan baru yang lebih tenang dan penuh kendali. Sebab pada akhirnya, tidak ada orang tua yang lebih penting bagi jiwa kita—selain diri sendiri yang kini belajar menjadi rumah yang aman untuknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *