Pameran Seni Art Jakarta Tampilkan Karya Kontemporer dari 17 Negara
JAKARTA – Pameran seni tahunan Art Jakarta kembali digelar selama tiga hari, yaitu pada 3 hingga 5 Oktober di JiExpo Kemayoran, Jakarta Pusat. Acara ini menampilkan sebanyak 75 galeri yang berasal dari 17 negara berbeda.
Salah satu peserta yang ikut serta adalah Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya dari Kementerian Kebudayaan. Pameran kali ini dikuratori oleh Agung Hujatnika dan mengusung tema Arus Baru.
Karya-karya yang dipamerkan merupakan hasil karya seni rupa kontemporer dari enam seniman lokal Indonesia. Mereka adalah Iwan Yusuf, Mariam Sofrina, Natasha Tontey, Syaiful Garibaldi, Dzikra Afifah, dan Uji Hahan Handoko.
Agung menjelaskan bahwa pilihan keenam seniman tersebut didasarkan pada keterkaitan karya mereka dengan keberagaman budaya, mitos, maupun kondisi Indonesia saat ini.
“Karya mereka mewakili perkembangan terbaru dalam seni Indonesia karena didasarkan pada riset, pengamatan, dan pemikiran yang sangat khas dan dipengaruhi oleh kondisi tanah air,” ujarnya.
Salah satu karya yang menarik perhatian adalah instalasi site-specific kapal pinisi yang dibuat oleh Iwan Yusuf. Karya ini menggunakan berbagai material seperti jaring.
Sementara itu, karya seni Syaiful Garibaldi atau dikenal dengan nama Tepu memanfaatkan alam sebagai bahan eksperimennya. Contohnya, ia menggunakan jamur dalam karyanya.
Agung menjelaskan bahwa riset Tepu dilakukan di Muara Gembong, Bekasi. Daerah ini dikenal sebagai penghasil kerang, dan inspirasi karyanya berasal dari pemandangan di sana, termasuk adanya kaktus gantung yang sering dibuat oleh warga setempat.
Selain itu, instalasi Natasha Tontey juga mencuri perhatian dengan nuansa merah dan hijau yang dominan. Karyanya juga turut menyertakan video eksperimental.
Secara umum, karya Tontey mengeksplorasi narasi fiktif tentang sejarah dan mitos yang berkaitan dengan ketakutan buatan.
“Karya Tontey menggambarkan ritual penyembuhan di Minahasa. Ketika menontonnya, ada makhluk empire yang sedang melakukan perjalanan untuk menyembuhkan seseorang. Secara idiom dan visual, karya Tontey selalu lucu dan absurd, tetapi sangat Indonesia,” tambah Agung.
Keenam seniman tersebut dipilih karena karya-karyanya memiliki benang merah yang saling terhubung. Benang merah tersebut adalah kemampuan mereka untuk membayangkan kembali sejarah, mitologi, dan ekologi dengan cara yang sesuai dengan urgensi keadaan saat ini.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menambahkan bahwa partisipasi MTN dalam Art Jakarta sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memberikan wadah bagi talenta-talenta berbakat di Tanah Air. Selain itu, pemerintah juga berupaya mempopulerkan seniman-seniman lokal di mata dunia.
MTN juga aktif dalam menggaet seniman-seniman tersebut untuk berpartisipasi dalam berbagai kompetisi maupun eksibisi. “Itu alasan MTN dibuat, agar bisa memberikan kesempatan berkarya. Untuk kesempatan di luar negeri, akan ada komite lain yang menyeleksi dan nantinya bisa mewakili Indonesia,” ujar Fadli.