Krisis Internal PPP dan Tantangan Kepemimpinan Pasca Muktamar Ancol 2025
JAKARTA – Konflik internal di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali memicu perhatian publik setelah Muktamar Ancol 2025. Dua kubu, yaitu Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, saling bersaing untuk mendapatkan legitimasi kepemimpinan.
Hal ini semakin memperburuk situasi partai yang sebelumnya berlambang Ka’bah dan telah gagal menembus ambang batas parlemen dalam Pemilu 2024.
Pengamat politik Iqbal Themi mengungkapkan bahwa PPP kini berada di ambang krisis eksistensial. Ia menyebut bahwa dulu, PPP adalah rumah besar bagi umat Islam dan simbol persatuan pada masa Orde Baru.
Namun, saat ini, partai tersebut justru terpecah dan kehilangan kursi di Senayan. Iqbal menegaskan bahwa jika tidak segera berbenah, PPP bisa menjadi dinosaurus politik Islam—besar di masa lalu, tetapi tenggelam di era baru.
Menurut Iqbal, konflik antara dua kubu bukan sekadar masalah biasa, melainkan cerminan dari krisis struktural yang sudah lama menghiasi PPP. Ia menilai bahwa partai yang mampu bertahan di bawah represi Orde Baru kini justru rapuh di era demokrasi.
Ini merupakan ironi sejarah yang menunjukkan bahwa PPP terus disandera oleh dualisme kepemimpinan, sehingga energi partai hanya habis untuk urusan administratif daripada fokus pada kepentingan rakyat.
Dari segi elektoral, dukungan terhadap PPP terus menurun. Dari 10,7 persen suara pada 1999, kini hanya mencapai 3,87 persen pada 2024. Penurunan ini menunjukkan hilangnya kepercayaan umat.
Basis sosial PPP juga mulai terdistribusi ke partai lain seperti NU ke PKB, Muhammadiyah ke PAN, kelas menengah Muslim ke PKS, sementara pemilih Islam yang lebih cair cenderung memilih partai nasionalis.
Iqbal menilai krisis ini sebagai bentuk triple delegitimation: kehilangan legitimasi elektoral, institusional, dan performa. Meski begitu, ia tetap optimistis bahwa kebangkitan masih mungkin terjadi jika PPP berani melakukan islah secara serius.
Jalan satu-satunya, kata Iqbal, adalah kembali ke khittah sebagai rumah besar umat Islam. Jika hal ini dilakukan dengan semangat persatuan dan kesadaran kolektif, PPP masih punya peluang untuk kembali ke Senayan pada 2029.
Perspektif Menkum tentang SK Kepengurusan PPP
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenkumHAM), Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa pihaknya tidak mencampuri urusan internal partai politik.
Ia mempersilakan kubu Agus Suparmanto untuk menggugat Surat Keputusan (SK) kepengurusan PPP yang disahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Supratman menjelaskan bahwa KemenkumHAM mengesahkan kepengurusan PPP kubu Mardiono karena awalnya kubu Agus dan Mahkamah PPP menyatakan tidak ada masalah internal.
Pendaftaran kepengurusan PPP kubu Mardiono dilakukan melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) pada Selasa (30/9/2025). Setelah menerima dokumen lengkap dari Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Supratman menandatangani SK tanpa ada keberatan.
Namun, setelah SK diterbitkan dan ditandatangani, ternyata ada pihak lain yang mendaftarkan kepengurusan PPP, sehingga menjadi permasalahan. Supratman menegaskan bahwa selama dokumen yang dibutuhkan sudah lengkap, pihaknya akan memproses SK dengan cepat sesuai transformasi pelayanan kepada publik.
Sebelumnya, Ketua Majelis Pertimbangan PPP Muhammad Romahurmuziy yang mewakili kubu Agus Suparmanto menyatakan menolak SK yang diteken Menkum.
Ia menilai SK tersebut cacat hukum karena tidak memenuhi delapan poin yang disyaratkan Permenkumham RI No. 34/2017, khususnya poin 6 yang menyatakan bahwa pengajuan SK harus didampingi surat keterangan tidak dalam perselisihan internal partai politik dari Mahkamah Partai Politik.