Peristiwa Viral di Media Sosial
AMERIKA – Di tengah ketegangan yang memuncak, seorang pilot perempuan asal Amerika Serikat menolak tugas menerbangkan pesawat yang disebut “penuh senjata” menuju wilayah yang dikenal sebagai ‘Israel’.
Tindakan ini mencuri perhatian banyak orang setelah video rekaman tersebut beredar luas di media sosial. Dalam video tersebut, pilot tersebut dengan lantang menyatakan bahwa senjata yang dibawa oleh pesawat akan digunakan untuk “genosida terhadap warga Palestina.”
Kalimat ini menjadi simbol perlawanan terhadap agresi militer yang terus berlangsung.
Video tersebut juga menampilkan seorang rekan pilot yang turut menyuarakan kekecewaannya. Ia mengaku malu karena merasa pemerintah AS membantu pembantaian terhadap anak-anak Palestina.
Ucapan “Stop the boom” yang diulang-ulang menjadi mantra penolakan terhadap misi militer yang ditugaskan kepada mereka.
Tuduhan dan Kontroversi
Dalam video tersebut, saksi di lokasi merekam juga menyampaikan tuduhan bahwa Kongres dan Senat AS mendanai “bom itu.” Klaim ini langsung memicu debat politik yang semakin memperkuat kritik terhadap peran AS dalam mendukung operasi militer ‘Israel’.
Namun hingga saat ini, belum ada konfirmasi independen yang memverifikasi kebenaran klaim tersebut. Pihak militer AS pun belum memberikan pernyataan resmi, baik membenarkan maupun membantah tuduhan tersebut.
Video ini memicu diskusi global. Bagi sebagian orang, tindakan pilot tersebut merupakan bentuk keberanian moral seorang prajurit yang menolak perintah demi hati nurani.
Di sisi lain, bagi yang pro AS dan ‘Israel’, mereka melihatnya sebagai propaganda—rekayasa untuk memperkuat persepsi bahwa AS adalah aktor utama di balik penderitaan rakyat Palestina.
Bantuan Militer AS untuk ‘Israel’
Menurut laporan dari Stockholm International Peace Research Institute, pada 1 Januari 2025, AS telah menghabiskan lebih dari USD22 miliar (sekitar Rp356,8 triliun) untuk mendukung operasi militer ‘Israel’, termasuk di Gaza, Lebanon, dan Suriah sejak 7 Oktober 2023.
Selama periode 2019–2023, AS menyediakan 69 persen kebutuhan senjata Israel, meningkat menjadi 78 persen pada akhir 2023.
Hingga Desember 2023, AS telah mengirimkan lebih dari 10 ribu ton senjata senilai USD2,4 miliar atau sekitar Rp38,9 triliun. Jumlah ini meningkat menjadi 50 ribu ton pada Agustus 2024, yang diangkut melalui ratusan pesawat dan kapal.
Sebagai sekutu terbesar ‘Israel’, AS menyediakan berbagai perlengkapan militer canggih seperti rudal untuk sistem pertahanan Iron Dome, bom presisi, helikopter angkut berat CH-53, helikopter serang AH-64 Apache, peluru artileri 155mm, amunisi penghancur bunker, dan kendaraan lapis baja.
Angka Bantuan Militer yang Mengkhawatirkan
Menurut Dewan Hubungan Luar Negeri, sebuah lembaga kajian di AS, Washington sejak 1946 telah memberikan lebih dari USD310 miliar (sekitar Rp5 kuadriliun) bantuan militer dan ekonomi kepada ‘Israel’.
Perjanjian bantuan militer senilai USD38 miliar (sekitar Rp616,2 triliun) yang ditandatangani pada 2016 memiliki alokasi USD3,8 miliar (sekitar Rp61,6 triliun) per tahun untuk pembiayaan militer asing dan pertahanan rudal.
Paket darurat pada 2024 menambahkan miliaran dolar lagi, termasuk USD14,1 miliar (Rp228,6 triliun) yang disetujui pada Februari dan pengiriman senjata senilai USD2,5 miliar (sekitar Rp40,5 triliun) pada Maret.
Penggunaan Hak Veto
Selain bantuan militer, catatan sejarah menunjukkan bahwa dari tahun 1970 hingga 2024, Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya sebanyak 87 kali, 49 kali di antaranya untuk melindungi ‘Israel’.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa hak veto telah menjadi alat untuk melumpuhkan keadilan, alih-alih menegakkannya.
Kelanjutan kebijakan ini dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan tekad Washington untuk melindungi ‘Israel’, bahkan dengan mengorbankan hak-hak warga sipil Palestina dan menghentikan pertumpahan darah di Gaza.