Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan: Dari Masa Penjajahan hingga Kini

Kenaikan Tarif PBB-P2 yang Menimbulkan Pro dan Kontra

JAKARTA – Di beberapa daerah di Indonesia, kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi topik yang ramai dibicarakan. Salah satu contohnya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Pati, Sudewo, yang sempat menaikkan tarif pajak sebesar 250 persen, namun akhirnya dibatalkan.

Selain di Pati, beberapa wilayah lain seperti Kota Cirebon, Kabupaten Jombang, dan Kabupaten Banyuwangi juga tengah menghadapi isu serupa. Tingkat kenaikan tarif bervariasi, mulai dari ratusan hingga mencapai 1.000 persen.

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia

Sejarah pajak bumi dan bangunan di Indonesia dapat ditelusuri jauh ke belakang. Dalam buku Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia karya Mustaqiem (2014), disebutkan bahwa PBB merupakan salah satu jenis pajak pertama yang diterapkan di Indonesia.

Awalnya, pajak ini disebut sebagai huistaks, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara yang tinggal di suatu wilayah tertentu.

Huistaks mulai diberlakukan pada tahun 1816 untuk sewa tanah dan bangunan. Pada masa itu, pajak tersebut dibayarkan kepada pemerintah Belanda.

Selanjutnya, berbagai jenis pajak lain mulai muncul, seperti pajak penghasilan atau PPh (Ordonnantie op de Herziene Inkomstenbelasting) pada tahun 1920 dan pajak perseroan atau PPh badan (Ordonnantie op de Vennootschapsbelasting) pada tahun 1925.

Selain itu, sejarah juga menyebutkan bahwa pajak pertanahan dipungut oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan nama landrente. Pada masa itu, Inspektur Liefrinck dari VOC melakukan survei di Parahyangan dan memutuskan untuk memberlakukan pajak pertanahan. Rakyat setempat sepakat membayar sebesar 80 persen dari harga besaran tanah atau hasil lahan yang dimiliki.

Sementara itu, selama pemerintahan Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Raffles, kebijakan landrente mengalami perubahan. Raffles menetapkan tarif sebesar 2,5 persen untuk golongan pribumi dan 5 persen untuk tanah yang dimiliki oleh orang asing. Selain itu, Raffles juga menerbitkan surat tanah sebagai sertifikat tanah internasional yang dikenal dengan istilah girik (bahasa Jawa).

Pada masa penjajahan Jepang, pajak tanah tetap diberlakukan. Setelah Indonesia merdeka, pajak tanah diubah menjadi pajak bumi. Perubahan kembali terjadi dengan nama pajak hasil bumi, di mana pajak tidak lagi fokus pada tanah, melainkan hasil dari pengelolaan tanah.

Masyarakat merasa frustrasi karena hasil dari pengelolaan tanah menjadi objek pajak peralihan. Oleh karena itu, pajak hasil bumi dihapus pada tahun 1952. Baru pada tahun 1959, pemerintah kembali memungut pajak hasil bumi atas nilai tanah, bukan atas hasil pengelolaan tanah dan bangunan.

Pengenaan pajak hasil bumi ini diatur dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.

Struktur dan Pembagian PBB

Dasar hukum PBB secara resmi tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Peraturan pajak ini dikeluarkan untuk menggantikan peraturan-peraturan sebelumnya, termasuk Perppu Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional AIMI (2017), disebutkan bahwa PBB terdiri dari lima sektor, yaitu perdesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Awalnya, PBB menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat, tetapi beberapa sektor dialihkan kepada pemerintah daerah (pemda).

Hanya sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang dialihkan kepada pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot). Sementara itu, sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (PBB-P3) masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Keputusan pengalihan ini tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah. Pengalihan kewenangan dilakukan sejak 2010 hingga paling lambat pada 2014.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *