Mantiq Media – Struk belanja viral di restoran mencantumkan biaya royalti musik yang dikenakan kepada pelanggan. Seperti diketahui, aturan mengenai kewajiban restoran dan kafe untuk membayar royalti musik belakangan ini menjadi perhatian publik di Indonesia.
Ketentuan ini berlaku terlepas dari sumber musik yang diputar di tempat usaha tersebut, baik berasal dari layanan streaming seperti Spotify, YouTube, atau sumber lainnya.
Perdebatan muncul di media sosial setelah beredarnya foto struk pembayaran tersebut.
Dalam struk yang bertanggal 5 Agustus 2025, tertulis komponen biaya “royalti musik dan lagu” sebesar Rp29.140.
Biaya royalti ini disandingkan langsung dengan daftar makanan seperti bola-bola susu, rendang sapi, dan es dawet durian.
Peristiwa ini memicu diskusi panas di kalangan netizen.
Banyak orang terkejut karena biaya royalti musik yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik usaha justru dibebankan kepada pelanggan.
Kewajiban Pembayaran Royalti Melalui LMKN
Royalti musik merupakan bentuk kompensasi keuangan yang diberikan kepada pencipta lagu, komposer, penyanyi, produser, atau pemilik hak cipta atas penggunaan karya musik mereka.
Royalti dibayarkan setiap kali lagu digunakan, diputar, didistribusikan, atau ditampilkan secara publik.
Pembayaran royalti ini dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), paling sedikit sekali dalam setahun.
Pemilik usaha dapat mengurus izin dan pembayaran secara online melalui situs resmi LMKN.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, restoran dikenakan biaya royalti musik berdasarkan jumlah kursi per tahun.
Direktur Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan bahwa semua tempat umum yang memutar musik secara komersial, termasuk restoran dan kafe, tetap wajib membayar royalti melalui LMKN, tanpa terkecuali.
“Langganan Spotify atau YouTube Premium tidak cukup untuk pemutaran musik di tempat umum, kafe tetap harus membayar royalti melalui LMKN,” katanya, dikutip dari Tribun Jateng pada Senin (11/8/2025).
Selain itu, DJKI juga menambahkan bahwa rekaman suara alam juga dapat dikenakan royalti jika dianggap sebagai fonogram yang memiliki hak produser.
Aturan mengenai tarif royalti diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu Kategori Restoran.
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.02/2016, tarif royalti adalah:
- Restoran & Kafe
Hak cipta: Rp60.000 per kursi/tahun
Hak terkait: Rp60.000 per kursi/tahun
- Pub, Bar & Bistro
Hak cipta: Rp180.000 per m⊃2;/tahun
Hak terkait: Rp180.000 per m⊃2;/tahun
- Diskotek & Klub Malam
Hak cipta: Rp250.000 per m⊃2;/tahun
Hak terkait: Rp180.000 per m⊃2;/tahun
Pembayaran dilakukan paling sedikit sekali setahun dan dapat diurus secara online melalui situs resmi LMKN.
Simulasi Perhitungan
1. Kafe kecil dengan kapasitas 20 kursi
Hak cipta: Rp60.000 × 20 = Rp1.200.000/tahun
Hak terkait: Rp60.000 × 20 = Rp1.200.000/tahun
Total: Rp2.400.000/tahun (~Rp200.000/bulan)
2. Restoran dengan kapasitas 50 kursi
Hak cipta: Rp3.000.000/tahun
Hak terkait: Rp3.000.000/tahun
Total: Rp6.000.000/tahun (~Rp500.000/bulan)
3. Restoran dengan kapasitas 100 kursi
Hak cipta: Rp6.000.000/tahun
Hak terkait: Rp6.000.000/tahun
Total: Rp12.000.000/tahun (~Rp1.000.000/bulan)
Berlaku untuk Musik Lokal dan Internasional
Isu pembayaran royalti musik bagi pelaku usaha kembali menjadi perhatian publik setelah penegakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta semakin ketat.
Banyak pemilik kafe dan restoran mencoba menghindari kewajiban tersebut dengan mengganti musik menjadi suara alam, seperti burung berkicau atau air mengalir.
Namun, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan upaya tersebut tidak membebaskan pelaku usaha dari kewajiban membayar royalti.
Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menekankan bahwa rekaman suara apa pun, termasuk suara alam, tetap dilindungi hak terkait.
“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu memiliki hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” katanya dikutip dari YouTube KompasTV, Selasa (5/8/2025).
Perhitungan Royalti Versi LMKN
Menanggapi hal ini, LMKN memberikan penjelasan mengenai mekanisme perhitungan royalti untuk restoran dan kafe. Komisioner LMKN, Yessy Kurniawan, menjelaskan bahwa penentuan tarif royalti didasarkan pada tingkat keterisian kursi atau okupansi harian dari tempat usaha tersebut.
“Manajemen hak tayang sudah dimulai sejak 1991, dan tingkat okupansi menjadi prioritas dalam perhitungannya,” kata Yessy, dikutip dari Kompas.com.
Ia memberikan contoh bahwa pengelola kafe biasanya diminta melaporkan rata-rata kursi yang terisi setiap harinya:
“Contohnya seperti ini. Hari pertama dari 100 kursi, hanya 10 dari 100 yang terisi. Hari kedua, 30 kursi yang terisi. Nah, ini biasanya sudah tercatat oleh manajemen kafe. Ini yang akan kita tanyakan,” jelas Yessy.
“Kita tidak tahu secara langsung. Dari luar, kita hanya melihat ada 100 kursi,” tambahnya.
LMKN berharap pemilik usaha memahami bahwa pembayaran royalti bukanlah beban semata, melainkan bentuk penghargaan atas karya musik yang mereka manfaatkan.
Respons Beragam: Matikan Musik Hingga Keluhan Konsumen
Beberapa pengelola kafe memilih untuk menghentikan pemutaran musik demi menghindari kewajiban royalti.
Namun ada juga yang tetap memutar musik, lalu mengenakan biayanya langsung kepada pelanggan, seperti yang terlihat pada struk yang viral di media sosial.
Kebijakan ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat.
Beberapa orang menganggap biaya tambahan tersebut memberatkan konsumen, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk dukungan kepada para musisi.
Pandangan netizen
Biaya royalti musik yang dikenakan kepada pengunjung restoran ini tidak dapat dihindari menjadi perhatian dan pembicaraan netizen di media sosial. Berikut beberapa di antaranya:
@Jikun: “Membuka restoran di Indonesia itu seperti sangat menyebalkan, sudah dikenakan pajak pertambahan nilai 11 persen, pajak restoran 20 persen, pembayaran pajak parkir ke pemerintah daerah, belum lagi pungutan liar dari organisasi masyarakat setempat, eh ini tambah lagi biaya royalti lagu yang pada akhirnya nanti dibebankan kepada konsumen.”
@Raka Abdian: “Bukannya royalti itu dibayar per tahun?? Mengapa semua dibebankan kepada konsumen per kedatangan??”
@Kang_Chiep88: “Kalau ini, kafe juga mencari keuntungan. Wong pajak kafe 10 persen saja tidak dibayar penuh.”
@Gugugugug: “Ya itu urusan yang punya kafe lah, masa konsumen ??? yang putar lagu siapa?”
Seorang pengguna juga menulis,
Jika untuk mendukung musisi sih oke, tapi jangan dimasukkan ke dalam tagihan makanan. Rasanya aneh saja.