Tren Foto AI yang Menarik Namun Menyimpan Risiko
JAKARTA – Beberapa waktu terakhir, media sosial ramai dengan unggahan foto polaroid yang menggunakan kecerdasan buatan (AI). Hasilnya memang menarik dan estetik, sehingga banyak orang, khususnya kalangan muda, tertarik untuk mencoba.
Banyak pengguna merasa puas karena wajah mereka tampak lebih artistik dan indah dibandingkan foto biasa. Namun, di balik keseruan tren ini, muncul pertanyaan besar: ke mana sebenarnya data wajah yang kita unggah beredar? Apakah aman dalam “Big Data” internet? Ataukah ada risiko digunakan kembali oleh pihak lain untuk tujuan yang tidak pernah kita bayangkan?
Tren ini erat kaitannya dengan rasa takut ketinggalan (Fear of Missing Out atau FOMO), yaitu perasaan cemas atau takut ketinggalan tren, acara, atau momen menarik yang dialami orang lain. Banyak pengguna mengunggah foto AI agar tidak merasa tertinggal dari teman-temannya.
Dari Tren Populer ke Potensi Bencana Digital
Kasus penyalahgunaan wajah oleh teknologi AI sebenarnya sudah terjadi di berbagai negara. Di Tiongkok, sebuah aplikasi face-swapping terbukti menggunakan wajah orang lain tanpa izin.
Laporan aibase.com pada 2024 menyebutkan bahwa kasus ini bahkan masuk ranah hukum dan diputus oleh pengadilan di Beijing. Di India, aktor Bollywood Anil Kapoor juga pernah menggugat penggunaan wajahnya dalam konten deepfake tanpa izin.
Pengadilan mengakui hak kepribadian Kapoor dan melarang pihak lain mengeksploitasi wajahnya.
Di Amerika Serikat, perusahaan teknologi besar Meta pernah digugat karena dituduh menyimpan dan menggunakan data biometrik pengguna tanpa persetujuan.
Gugatan ini muncul karena data wajah diduga dipakai untuk mengembangkan teknologi pengenalan wajah. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi AI menawarkan hiburan dan kreativitas, ia juga membuka celah besar terhadap privasi individu.
Kasus Nyata di Sekitar Kita
Di Indonesia, kasus serupa memang belum banyak disorot media, namun bukan berarti risikonya tidak nyata. Saya sendiri memiliki seorang kenalan perempuan yang menjadi korban dari dugaan penyalahgunaan wajah oleh teknologi AI.
Identitasnya tidak bisa saya sebutkan, tetapi orang terdekatnya bercerita bahwa wajahnya diduga dipakai ulang oleh kecerdasan buatan dan beredar tanpa izin. Lebih parahnya lagi, wajahnya dimanipulasi untuk konten tidak senonoh oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai orang yang mendengar ceritanya langsung, saya bisa merasakan betapa bingungnya ia menghadapi situasi tersebut. Ia berusaha mencari pelakunya dibantu ahli dan melakukan pelacakan historis melalui Big Data di internet, tetapi hasilnya nihil.
Lebih jauh, ia justru mendapati yang mengunggah wajahnya hanya akun yang pernah ia buat, namun akun-akun asing tidak ditemukan sama sekali.
Lantas ia sadar akar masalahnya kembali kepada dirinya sendiri yang ceroboh saat mengikuti tren AI tanpa mempertimbangkan risiko privasi. Ia pernah secara sembarangan mengunggah wajahnya di platform gratisan, tanpa membaca syarat dan ketentuan, demi foto estetik.
Kebingungan itu berubah menjadi tekanan psikologis yang berat. Ia kerap menyalahkan dirinya sendiri hingga akhirnya mengalami depresi. Kini, ia bergantung pada obat antidepresan, dan perlahan menjauh dari lingkungan sosial.
Wajah sebagai Data Pribadi
Perlu diingat, wajah bukan sekadar citra visual. Dalam ranah teknologi, wajah adalah data biometrik yang sangat sensitif.
Begitu masuk ke sistem AI, data ini berpotensi dimanfaatkan untuk melatih model, ditempelkan pada konten tidak senonoh, atau bahkan digunakan untuk tujuan komersial tanpa izin pemiliknya.
Bayangkan jika suatu hari wajah kita muncul dalam video eksplisit yang sama sekali tidak kita buat. Dampaknya tentu serius, baik secara pribadi maupun sosial.
Reputasi hancur, kepercayaan diri runtuh, bahkan bisa mengganggu karier dan hubungan keluarga. Celah regulasi di Indonesia masih lemah, belum ada mekanisme jelas untuk menindak penyalahgunaan data wajah dalam tren AI yang bersifat lintas platform dan lintas negara.
Dampak Psikologis: Lebih dari Sekadar Aib
Dari sisi psikologis, kasus penyalahgunaan wajah tidak hanya menimbulkan rasa malu atau aib. Lebih jauh, korban bisa mengalami trauma, rasa tidak aman, gangguan kecemasan, hingga depresi.
Psikolog klinis Anastasia Satriyo menjelaskan bahwa korban deepfake kerap mengalami self-blame (menyalahkan diri sendiri) serta kehilangan rasa percaya terhadap orang lain.
“Mereka merasa dikontrol dan dipermalukan, sehingga memilih menarik diri dari lingkungan sosial,” jelasnya.
Situasi ini dialami langsung oleh kenalan saya. Ia tak hanya kehilangan kendali atas data dirinya, tetapi juga kehilangan rasa aman sebagai individu di tengah masyarakat digital.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Sebagai masyarakat, kita memang tidak bisa menghentikan laju perkembangan teknologi. Namun, ada langkah sederhana yang bisa dilakukan:
- Hindari mengunggah foto ke aplikasi AI yang tidak jelas keamanannya.
- Biasakan membaca syarat dan ketentuan penggunaan aplikasi, meski terasa membosankan.
- Jika terjadi penyalahgunaan, jangan diam. Segera laporkan ke pihak berwenang atau minta bantuan lembaga perlindungan hukum.
- Edukasi diri dan orang sekitar, terutama anak-anak dan remaja, mengenai risiko berbagi data pribadi di internet. Mereka sering kali menjadi target empuk karena minim kesadaran digital.
Sayangnya, langkah ke-3 kerap gagal karena banyaknya celah dalam regulasi penyalahgunaan AI. Karena itu, penting ada kolaborasi antara masyarakat, akademisi, pemerintah, hingga komunitas teknologi untuk memperkuat kesadaran, membangun sistem perlindungan data yang lebih tegas, serta mendorong regulasi turunan yang sesuai dengan tantangan zaman.
Tren AI memang menyenangkan dan memberi pengalaman baru. Namun, kita perlu lebih kritis dan berhati-hati. Jangan sampai demi mendapatkan foto polaroid yang terlihat estetik, kita justru kehilangan kendali atas data paling pribadi, yakni wajah kita sendiri.