7 Fakta Unik Keluarga Nabila dan Sabila dengan Penyakit Langka

Perjalanan Keluarga Nabila dan Sabila yang Penuh Cinta dan Ketabahan

JAKARTA – Kehidupan keluarga Nabila dan Sabila menjadi sorotan publik karena perjuangan mereka yang menginspirasi. Terlahir dengan Seckel Syndrome, sebuah kelainan genetik langka yang membuat pertumbuhan fisik mereka terhambat, kehidupan keduanya dipenuhi dengan tantangan yang tidak biasa.

Di balik fisik mereka yang mungil, tersimpan semangat hidup yang besar serta curahan cinta tanpa batas dari keluarga yang merawatnya. Perjalanan keluarga ini, terutama sang mama dan papa, Dewi dan Saepul tentu tidaklah mudah.

Sejak kelahiran prematur si kembar, Nabila dan Sabila harus menghadapi berbagai ujian, mulai dari tantangan medis hingga stigma sosial yang menyakitkan.

Perjuangan sehari-hari keluarga ini adalah cerminan dari kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan orangtua dalam merawat anak-anak istimewa yang dipercayakan kepada mereka. Berikut beberapa fakta menarik tentang keluarga ini.

1. Si Kembar Lahir Seukuran Botol Air Mineral

Melalui perbincangan keluarga Nabila dan Sabila pada kanal YouTube Comic 8 Revolution bersama Sara Wijayanto, terungkap bahwa Nabila dan Sabila terlahir dalam kondisi prematur saat usia kandungan mama mereka baru menginjak delapan bulan.

Kondisi ini membuat berat badan mereka sangat rendah, yaitu hanya 800 gram saat dilahirkan. Ukuran tubuh mereka yang begitu mungil bahkan digambarkan oleh sang mama setara dengan sebuah botol air mineral.

Kelahiran dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ini menjadi awal dari perjuangan panjang keluarga. Meskipun lahir dengan fisik yang normal tanpa kelainan yang terlihat langsung, tantangan kesehatan mulai muncul saat mereka berusia beberapa bulan, yang menuntun keluarga pada perjalanan medis secara intensif.

2. Didiagnosis Seckel Syndrome Saat Usia 3 Tahun

Awalnya, keluarga tidak langsung mengetahui bahwa si kembar mengidap Seckel Syndrome. Saat berusia dua bulan, dokter di Garut mendiagnosis mereka dengan microcephalus, atau kondisi tempurung kepala yang kecil. Diagnosis yang lebih spesifik baru datang beberapa tahun kemudian setelah mereka menjalani pemeriksaan lebih lanjut di Bandung.

“Saya tahu Nabila sama Sabila ini Seckel Syndrome umur 3 tahunan. Pas kita periksa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, di sana kita dikasih tahu sama dokternya, ‘Oh Bu, ini penyakit langka namanya Seckel Syndrome’,” cerita Dewi.

Diagnosis ini akhirnya memberikan kejelasan bagi keluarga mengenai kondisi genetik langka yang memengaruhi tumbuh kembang si kembar.

3. Sang Mama Pernah Dikira Membawa Boneka

Perjuangan Dewi tidak hanya seputar medis, tetapi juga menghadapi pandangan dan stigma dari masyarakat. Dikarenakan ukuran tubuh Nabila dan Sabila yang sangat mungil, ia pernah mengalami kejadian menyakitkan saat berada di pasar, di mana seseorang mengiranya orang dengan gangguan jiwa yang sedang membawa boneka.

“Mereka bilang ‘Saya kira Ibu itu orang gila bawa-bawa boneka. Saya kira dari kejauhan Ibu bawa boneka, saya kira Ibu orang gila yang kehilangan anak’,” lanjut Dewi bercerita.

Menghadapi komentar tersebut, Dewi dengan sabar menjelaskan bahwa yang ia bawa adalah anaknya. Pengalaman ini menjadi salah satu dari banyak ujian mental yang harus ia lalui, menunjukkan betapa besar kekuatan dan kesabarannya dalam melindungi dan memperjuangkan martabat kedua buah hatinya di mata publik.

4. Sang Papa Bekerja Keras sebagai Buruh Bangunan

Di balik ketegaran mama Dewi, ada sosok sang papa Nabila dan Sabila bernama Saepul. Saepul berjuang keras menafkahi keluarga. Ia bekerja sebagai seorang buruh bangunan, sebuah pekerjaan yang menuntut fisik dan sering kali membuatnya harus jauh dari rumah untuk waktu yang lama, bahkan terkadang hanya bisa pulang sebulan sekali.

“Ayahnya ini bangun dari jam 4 subuh. Terus jam 7 dia berangkat kerja. Saya juga kadang suka kasihan ya sama suami,” ujar Dewi.

Perjuangan sang papa yang bekerja dari pagi buta di proyek bangunan menunjukkan besarnya tanggung jawab dan pengorbanannya. Meskipun jarang bertemu, ikatan antara papa dan si kembar tetap kuat, di mana mereka akan sangat senang hanya dengan melihat wajahnya melalui panggilan video saat ia sedang istirahat bekerja.

5. Karakter Nabila dan Sabila Sangat Berbeda

Meskipun kembar dan selalu bersama, Nabila dan Sabila menunjukkan karakter yang sangat berbeda satu sama lain. Nabila, sang kakak, cenderung lebih penyabar dan mudah berinteraksi dengan orang baru. Sebaliknya, Sabila lebih manja, pemalu, dan mudah tantrum jika keinginannya tidak segera dituruti.

“Kalau nitipin Nabila mah oke sampai sore juga. Kalau nitipin adik (Sabila) baru setengah jam juga sudah ditelepon, ini nangis. Beda, kalau kakak itu penyabar kayaknya,” tutur Dewi.

Perbedaan sifat ini membuat Dewi harus memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengasuh keduanya. Nabila bisa dengan mudah dititipkan kepada neneknya, sementara Sabila hampir tidak bisa jauh dari sang mama.

6. Perkembangan Nabila dan Sabila Setara Bayi Usia 8 Bulan

Pada kanal YouTube Melaney Ricardo, terungkap bahwa meskipun secara kronologis Nabila dan Sabila telah berusia 7 tahun, perkembangan mereka secara fisik dan kognitif jauh tertinggal.

Menurut penjelasan dokter yang menangani mereka, tingkat perkembangan si kembar saat ini baru setara dengan bayi normal pada umumnya yang berusia 8 bulan.

“Usia sekarang tahun. Tapi perkembangan mereka tuh kalau kata dokter baru kayak anak 8 bulan.” Fakta ini memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dampak dari Seckel Syndrome pada tumbuh kembang mereka.

Hal ini juga menjelaskan mengapa mereka masih memerlukan perawatan dan perhatian penuh layaknya seorang bayi, mulai dari cara makan, berkomunikasi, hingga mobilitas.

7. Orangtua Menganggap Anak sebagai Guru Kesabaran

Di balik semua tantangan, perspektif kedua orangtua terhadap anak-anak mereka sangat luar biasa. Dewi secara terang-terangan menyatakan bahwa ia tidak lagi melihat Nabila dan Sabila sebagai ujian, melainkan sebagai “guru” dalam kehidupannya. Kehadiran si kembar telah mengajarkannya arti kesabaran, keikhlasan, dan harapan yang sesungguhnya.

“Justru mereka itu guru buat saya. Karena mereka itu ngajarin saya kesabaran dan keikhlasan, Saya bisa sabar dan ikhlas dari mereka,” katanya.

Pandangan ini menunjukkan bagaimana mereka berhasil mengubah rasa sedih dan kecewa menjadi sebuah kekuatan. Alih-alih merasa terbebani, mereka justru merasa bangga dan bersyukur atas pelajaran hidup yang mereka dapatkan langsung dari perjuangan kedua buah hati mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *