Ahli: Insentif Impor Mobil Listrik Sudah Cukup, Tidak Perlu Lanjutkan

Kebijakan Insentif Impor BEV dan Dampaknya pada Pasar Lokal

JAKARTA – Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2024 yang digabungkan dengan Peraturan Menteri lainnya, memberikan insentif bagi mobil Battery Electric Vehicle (BEV) yang diimpor dalam bentuk Completely Built Up (CBU).

Aturan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk melakukan uji pasar sebelum berinvestasi secara lebih besar. Insentif tersebut mencakup penghapusan Bea Masuk dari tarif normal sebesar 50 persen menjadi 0 persen, serta penghapusan Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang biasanya dikenakan sebesar 15 persen.

Dengan adanya insentif ini, para pabrikan yang melakukan impor CBU BEV bisa memasarkan produknya dengan harga yang relatif lebih terjangkau. Namun, aturan ini juga menuntut komitmen produksi yang setara.

Penerima insentif wajib mengganti setiap satu unit kendaraan impor yang telah terjual hingga 31 Desember 2025 dengan penjualan unit CKD yang sama, mulai dari 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027. Hal ini bertujuan agar industri otomotif dalam negeri tidak hanya bergantung pada impor, tetapi juga memiliki kemampuan produksi sendiri.

Pandangan Ahli tentang Kebijakan Insentif

Menanggapi kebijakan ini, Riyanto, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, menyatakan bahwa insentif impor BEV sudah cukup untuk melakukan uji pasar.

Menurutnya, performa penjualan BEV telah menunjukkan pertumbuhan positif, sehingga tidak perlu dilanjutkan setelah masa pemberlakuannya berakhir pada 31 Desember 2025.

“CBU impor sudah cukup untuk tes pasar. Uji pasar bisa dibilang berhasil, karena penjualan BEV meningkat ketika insentif fiskal diberikan,” ujarnya.

Namun, ia juga menyoroti bahwa meskipun insentif sukses dalam mendongkrak adopsi BEV, dampaknya tidak terasa signifikan terhadap industri pendukung seperti supplier komponen.

“Setiap 1 tenaga kerja di industri otomotif agregatnya sama dengan menambah 4 tenaga kerja di sektor industri lain. Sementara, jika hanya berdagang mobil, setiap penambahan 1 tenaga kerja hanya akan menambah kisaran 0,25 di industri lain,” jelas Riyanto.

Ia juga menilai bahwa kebijakan ini bisa menimbulkan ketidakadilan bagi perusahaan yang telah melakukan investasi besar-besaran. Jika insentif diperpanjang, maka mereka merasa tidak fair dan kebijakan bisa dianggap tidak konsisten, yang berdampak pada kredibilitas pemerintah.

Perusahaan yang Mendapat Insentif

Beberapa perusahaan telah menerima insentif impor CBU mobil listrik. Di antaranya adalah PT National Assemblers, yang merupakan pusat perakitan Indomobil Group.

Perusahaan ini menaungi produksi merek seperti Citroen, Aion, Maxus, dan VW. Rencana investasi yang diterima mencapai Rp 621,15 miliar, dengan kapasitas produksi yang diproyeksikan meningkat sebesar 61 ribu unit per tahun.

Selain itu, PT BYD Motor Indonesia mendapatkan insentif terbesar dengan rencana investasi sebesar Rp 11,2 triliun dan kapasitas produksi 150 ribu unit per tahun. PT Vinfast Automobile Indonesia juga menerima insentif dengan nilai investasi Rp 3,5 triliun dan kapasitas produksi 50 ribu unit per tahun.

Terdapat pula PT Geely Motor Indonesia, PT Era Industri Otomotif untuk Xpeng, dan PT Inchcape Indomobil Energi Baru untuk GWM Ora yang juga mendapatkan relaksasi serupa.

Peningkatan Impor Mobil CBU

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah impor mobil CBU. Pada Juli 2025, jumlah impor mencapai 15.092 unit, naik 42 persen dibandingkan bulan sebelumnya sebanyak 10.606 unit. Jika dibandingkan dengan Juli 2024, angka ini meningkat sebesar 45 persen dari 10.358 unit.

Peningkatan ini juga terlihat pada periode Januari-Juli 2025, yang mencapai 76.755 unit, melambung 50 persen dari periode serupa tahun lalu sebanyak 50.932 unit. Jumlah impor Juli 2025 menjadi yang tertinggi selama tujuh bulan pertama tahun ini.

Sejak awal tahun, pertumbuhan impor CBU kendaraan roda empat terbilang fluktuatif. Dua bulan pertama 2025 ada kenaikan sebesar 38 persen dari 9.031 unit di Januari menjadi 12.502 unit di Februari. Meski demikian, jumlah impor turun pada bulan Maret dan April, namun kembali meningkat sejak Mei 2025 hingga mencapai titik tertinggi di bulan ketujuh tahun ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *