Malam Bersejarah di Stadion Café Medan
MEDAN – Pada malam Sabtu, 13 September 2025, suasana di Stadion Café Medan terasa sangat istimewa. Di bawah cahaya lampu yang redup, puluhan seniman, budayawan, dan penggemar teater berkumpul dalam satu ruangan.
Mereka tidak hanya hadir untuk menghadiri acara biasa, tetapi juga menyaksikan momen penting: pengukuhan pengurus baru dari Teater Nasional (TENA) Medan.
TENA, yang merupakan kelompok teater modern tertua di kota ini, kembali memperkuat struktur kepengurusannya setelah sekian lama vakum. Namun, yang membuat malam itu begitu berbeda adalah emosi yang muncul—tangisan dan air mata yang menetes tanpa bisa ditahan.
Tangis Rosnani dan Buyung
Rosnani Lubis, yang bertindak sebagai pembawa acara, tiba-tiba berhenti sejenak di tengah pidatinya. Suaranya bergetar, dan ia mencoba menahan air mata. “Maaf, aku terharu. Aku menangis. Kali ini rasanya berbeda. Terkenang juga kawan-kawan yang sudah tiada,” ujarnya dengan suara lirih sambil menyeka air mata.
Kesunyian sesaat menyelimuti ruangan. Para hadirin ikut hanyut dalam perasaan yang sama—mengenang rekan-rekan seperjuangan yang telah meninggal. Tak lama kemudian, Buyung Bizard, sosok penuh semangat, memilih keluar ruangan. Matanya basah, wajahnya sendu. Tangisan itu menjadi tanda betapa panjang penantian mereka untuk melihat TENA kembali hidup.
Selama beberapa tahun terakhir, TENA hampir tak terdengar kabarnya. Produksi panggung nyaris tidak ada, kekompakan antar anggota terpecah. Namun, malam itu menjadi awal dari harapan baru.
Jejak Panjang TENA
Teater Nasional (TENA) Medan bukanlah kelompok sembarangan. Didirikan pada 28 Oktober 1963, TENA dikenal sebagai pelopor teater modern di Medan dengan motto “Akrab ke Dalam, Simpati ke Luar.” Produksi pertamanya berjudul “Jiwa Dari Tanah Air” karya Zakaria M. Pase, menjadi penanda lahirnya sebuah kelompok teater modern yang berani dan progresif.
Nama-nama besar seperti Sori Siregar, Burhan Piliang, Mazwad Azham, Iskaq S., dan Rusli Maha tercatat sebagai pendiri sekaligus motor penggerak. TENA bukan hanya komunitas, tetapi juga ruang belajar, bereksperimen, dan tempat lahirnya karya-karya yang menjadi dasar dunia seni pertunjukan di Sumatera Utara.
Namun, perjalanan panjang itu sempat terhenti. Beberapa tahun terakhir, TENA seolah tidur panjang. Tidak ada produksi, tidak ada gaung. Para anggota rindu, para penonton kehilangan.
Harapan Baru dari Pengukuhan
Kini, harapan itu lahir kembali lewat pengukuhan pengurus baru. DR. Ir. Hj. Wan Hidayati, M.Si. resmi didaulat sebagai Ketua TENA. Ia didampingi oleh Yusrizal (Buyung Bizard) sebagai Wakil Ketua, H. Munir Nasution, SH sebagai Sekretaris, Ayub Hamzah Fahreza sebagai Wakil Sekretaris, Prof. DR. Iskandar Zulkarnain, M.Si sebagai Bendahara, dan Dra. Samsidar Tati Rosiana sebagai Wakil Bendahara.
Pengukuhan dilakukan langsung oleh Pembina TENA, S. Handono Hadi, disaksikan tokoh-tokoh penting seperti Idris Pasaribu, Nas Chan, serta puluhan anggota lainnya. Suasana penuh khidmat, namun hangat dan kekeluargaan.
S. Handono Hadi dalam sambutannya menegaskan, “Sebagai teater yang sudah melegenda di Medan, TENA harus bangkit lagi dengan berbagai pementasan yang baik dan rutin.”
Idris Pasaribu menekankan pentingnya menjaga semangat para pendiri. Ia bahkan memberi gagasan baru: TENA perlu membuat buku catatan perjalanan agar ada jejak sejarah yang bisa diwariskan, bukan hanya untuk Medan, tetapi juga untuk dunia teater di Indonesia.
Optimisme Wan Hidayati
Di tengah suasana haru itu, Ketua baru TENA, Wan Hidayati, tampil penuh semangat. Ia menyampaikan bahwa pengurus telah menyiapkan lima program utama: penguatan kapasitas anggota, produksi karya tahunan, edukasi teater ke sekolah-sekolah, kolaborasi lintas komunitas, hingga rencana menggelar Festival Teater Medan.
“Kami sudah menyiapkan lima program utama, salah satunya produksi karya setiap tahun. Teater harus hadir, bukan hanya di panggung besar, tapi juga dekat dengan masyarakat,” ujarnya dengan optimis.
Agenda Perdana Setelah Pengukuhan
Setelah resmi dikukuhkan, kerja perdana pengurus baru TENA adalah mempersiapkan perayaan ulang tahun TENA yang akan digelar pada bulan Oktober mendatang. Perayaan ini menjadi momentum untuk menegaskan kembali eksistensi TENA sekaligus menyatukan para anggota lintas generasi.
Perayaan tersebut diharapkan bukan hanya sebatas acara seremonial, melainkan juga menjadi ruang untuk menampilkan karya, mengenang perjalanan panjang, dan mempertemukan kembali para pelaku teater yang pernah terlibat dalam sejarah TENA.
Malam yang Mengikat Emosi
Acara pengukuhan akhirnya ditutup dengan makan bersama. Namun lebih dari sekadar santap malam, momen itu menjadi simbol persatuan. Senyum, pelukan, dan obrolan akrab mewarnai suasana.
Tangis Rosnani dan Buyung Bizard, kata-kata penuh harapan dari para pembina, hingga optimisme pengurus baru, semuanya menjelma menjadi satu benang merah: Teater Nasional Medan siap bangkit.
Air mata yang menetes malam itu bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti betapa teater ini dicintai. Betapa besar kerinduan untuk melihat TENA kembali hadir dengan karya-karya yang bermakna.
Kini, panggung telah menanti. Tinggal bagaimana TENA menepati janjinya: rutin hadir, menghidupkan kembali teater modern di Medan, dan meninggalkan jejak sejarah untuk generasi mendatang.