Kehidupan Raya yang Menyedihkan di Sukabumi
Seorang anak berusia tiga tahun bernama Raya menjadi perbincangan setelah meninggal dunia dalam kondisi tubuh yang penuh cacing. Kejadian ini menimbulkan rasa prihatin dan kekecewaan terhadap sistem pelayanan kesehatan serta pengelolaan desa yang dinilai tidak memadai.
Raya tinggal di Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Kehidupannya yang pahit diungkap oleh kepala desa setempat, Wardi Sutandi. Ia menjelaskan bahwa Raya adalah putra dari Udin (32) dan Endah (38), yang sama-sama mengalami keterbelakangan mental. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan dalam memberikan pengasuhan kepada anaknya.
Selama hidupnya, Raya sering bermain di bawah kolong rumah bersama ayam. Kondisi ini membuatnya rentan terkena penyakit. Awalnya, ia hanya mengalami demam dan didiagnosis menderita penyakit paru-paru. Namun, karena keluarga tidak memiliki Kartu Keluarga (KK) maupun BPJS, perawatan yang diperlukan sulit dilakukan.
Perawatan Terhambat dan Bantuan Filantropi
Wardi Sutandi menjelaskan bahwa Raya sempat masuk dan keluar klinik beberapa kali. Akhirnya, bantuan datang dari komunitas filantropi Rumah Teduh. Melalui bantuan tersebut, Raya dirawat selama sembilan hari. Namun, kondisinya semakin memburuk hingga akhirnya meninggal pada 22 Juli 2025 malam.
“Saya kumpulkan dan mayat tersebut datang. Dikuburkan malam hari,” ujar Wardi. Penyebab kematian Raya disebutkan sebagai kondisi tubuh yang penuh cacing. Kejadian ini mengejutkan banyak orang dan memicu reaksi dari pihak berwenang.
Sanksi dari Gubernur Jawa Barat
Kasus ini mendapat perhatian khusus dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Ia menegaskan bahwa desa Cianaga akan diberi sanksi berupa penundaan pencairan dana desa. Alasannya, desa tersebut dinilai gagal mengurus warganya.
Dedi menyoroti kegagalan perangkat desa hingga RT dalam memberikan perhatian kepada warga. “Hari ini kita punya derita seorang anak berumur tiga tahun dari Kabupaten Sukabumi pada sebuah kampung terpencil, ibunya ODGJ, bapaknya mengalami TBC. Anak itu tiap hari di kolong. Dia meninggal di rumah sakit dalam keadaan seluruh cacing keluar dari hidungnya,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kasus ini menunjukkan lemahnya empati birokrasi. “Betapa kita gagap dan lalai. Perangkat birokrasi yang tersusun sampai tingkat RT ternyata tidak bisa membangun empati,” tegasnya.
Tanggung Jawab dan Kesadaran Bersama
Kejadian ini menjadi peringatan bagi semua pihak, baik pemerintah daerah maupun masyarakat, untuk lebih peka terhadap kondisi warga yang kurang mampu. Diperlukan upaya lebih besar dalam menangani isu kesehatan dan perlindungan anak, terutama bagi keluarga dengan kondisi ekonomi dan keterbatasan kemampuan.
Perlu adanya program pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif, serta akses layanan kesehatan yang lebih mudah dijangkau. Dengan begitu, kejadian seperti ini dapat diminimalisir dan keadilan sosial dapat tercapai.