Visi Ambisius Gubernur Jabar dalam Modernisasi Transportasi
BANDUNG – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru saja mengumumkan rencana besar yang bertujuan untuk memodernisasi jalur kereta api antara Jakarta dan Bandung. Tujuan utamanya adalah memangkas waktu perjalanan dari tiga jam lebih menjadi hanya 1,5 jam.
Dengan konsep ini, penumpang bisa berangkat pagi dari Gambir dan tiba di Braga pada siang hari sambil menikmati kopi susu Bandung. Tiket yang ditawarkan pun terjangkau, berkisar antara Rp150 hingga 300 ribu rupiah.
Ini bukan sekadar mimpi, melainkan hasil dari diskusi serius dengan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI), Bobby Rasyidin. Ia menjanjikan bahwa kereta akan selalu penuh sesak karena harga tiket yang kompetitif dibandingkan tol atau layanan transportasi lainnya.
Proyek ini tidak hanya fokus pada kecepatan, tetapi juga strategi jitu untuk memperkuat konektivitas antarwilayah dan mendorong roda ekonomi Jabar, terutama di tengah musim hujan yang sering menyebabkan kemacetan parah di jalur darat.
Perubahan Waktu Perjalanan yang Signifikan
Dedi Mulyadi, yang dikenal dengan gaya blak-blakan dan dekat dengan rakyat, menyatakan bahwa modernisasi ini akan membuat KA Parahyangan menjadi primadona.
“Jika jalur kereta Jakarta–Bandung dimodernisasi, perjalanannya bisa ditempuh hanya dalam satu setengah jam,” ujarnya dalam rilis resmi yang diterima media.
Saat ini, perjalanan KA konvensional sudah sekitar dua jam, tetapi dengan upgrade, angka 1,5 jam menjadi target realistis yang bisa bersaing dengan kereta cepat.
Pertemuan ini terjadi di Gedung Sate awal November, di mana Dedi dan Bobby saling tukar ide untuk membuat transportasi lebih humanis. Dedi, yang sering turun langsung ke lapangan, memahami keluhan warga: macet di tol Cipularang yang bikin stres, atau biaya Whoosh yang kadang bikin kantong kering.
Dengan tiket di kisaran itu, KA bisa menjadi pilihan utama bagi pekerja komuter Jakarta-Bandung, mahasiswa, atau keluarga yang ingin liburan akhir pekan tanpa ribet. Ia bahkan memproyeksikan okupansi 100%, karena Bandung tetap menjadi magnet wisata.
Teknologi dan Investasi yang Diperlukan
Bobby Rasyidin, sebagai ujung tombak KAI, menjelaskan bahwa modernisasi ini tidak memerlukan rel baru yang mahal. “Dengan jalur eksisting sepanjang sekitar 150 kilometer, estimasi biaya perbaikan sekitar 8 triliun rupiah,” ungkapnya.
Investasi ini mencakup upgrade rel, perbaikan tikungan, dan penataan kemiringan jalur. Kunci utamanya adalah teknologi tilting pada bogie kereta—semacam suspensi pintar yang membuat rangkaian bisa ‘miring’ mengikuti kurva tanpa mengurangi kecepatan, aman dan stabil meski lintasan Jabar banyak tanjakan.
Prosesnya akan presisi: perbaiki rel yang aus di titik rawan seperti Purwakarta-Padalarang, tambah terowongan dan jembatan baru di spot kritis, serta sempurnakan double track untuk hindari tabrakan jadwal.
Ini mirip dengan upgrade KA di Eropa, tetapi disesuaikan dengan kondisi lokal—tidak ada bongkar total, cuma polesan canggih agar kereta bisa ngebut 120-160 km/jam. Biaya Rp8 triliun tersebut, kata Bobby, worth it karena ROI cepat: lebih banyak penumpang berarti pendapatan tiket naik, plus hemat subsidi pemerintah.
Kolaborasi Multi-Level untuk Sukses Proyek
Yang membuat proyek ini berbeda adalah permintaan Dedi untuk kolaborasi total, dari pusat, provinsi, kota/kabupaten, sampai swasta dan warga.
“Kita bisa ajak Pemkot Bandung, para pembisnis hotel untuk investasi. Karena orang Jakarta banyak yang berwisata ke Bandung, ini akan memiliki implikasi terhadap tingkat kunjungan wisata,” tuturnya.
Bayangkan, hotel di Dago atau Lembang tambah ramai, UMKM makanan ringan Bandung bisa ekspor via KA, dan wisatawan naik 30% gara-gara akses mudah.
Dedi juga memiliki ide gila, yaitu saham warga Jabar! “Bisa kita buat saham warga Jabar, nanti warga Jabar punya kereta yang diproduksi di dalam negeri, punya kualitas menggunakan tenaga dalam negeri,” katanya.
Ini mirip model koperasi modern, di mana warga bisa beli saham kecil untuk ikut untung dari operasional KA—mungkin dividen tahunan atau diskon tiket.
Kolaborasi ini juga melibatkan Kementerian Perhubungan untuk dana tambahan, plus CSR dari perusahaan besar seperti Telkom atau Unilever yang punya pabrik di Jabar.
Dampak Ekonomi yang Besar
Modernisasi ini diprediksi akan mendorong ekonomi Jabar secara masif. Saat ini, KA Jakarta-Bandung mengangkut 2 juta penumpang setahun, tapi dengan 1,5 jam, bisa naik dua kali lipat—artinya pendapatan tiket tahunan meningkat.
Untuk pariwisata, Bandung yang kunjungan 10 juta wisatawan pre-pandemi bakal rebound lebih cepat: weekend getaway dari Jakarta jadi lebih murah daripada naik mobil, kurangi kemacetan tol 15%. Dedi memproyeksikan, hotel occupancy naik 20%, UMKM souvenir dan kuliner untung besar.
Lebih luas lagi, ini mendorong pemerataan: selatan Jabar seperti Pangandaran, yang rencana jalur lanjutan Rp8 triliun via Bandung-Banjar, bisa akses wisatawan lebih mudah.
“Dari Jakarta ke Bandung 1,5 jam, ke Banjar 2 jam, total tiga jam ke Pangandaran,” kata Dedi.
Ini membuka peluang baru: pantai Pangandaran yang ‘Hawaii-nya Indonesia’ tidak lagi 7-10 jam darat, tapi KA nyaman dengan view pegunungan. Ekonomi lokal naik, dari nelayan Pangandaran sampai petani teh di Tasik, karena logistik murah via kereta khusus.
Tantangan dan Harapan Masa Depan
Meskipun proyek ini sangat menjanjikan, Dedi mengingatkan bahwa sukses tergantung gotong royong. “Ini implikasi besar buat wisata dan investasi,” tegasnya.
Dengan ekonomi Jabar tumbuh 5,2% tahun ini, proyek ini bisa menjadi pendorong utama Q4 2025—apalagi jika kolaborasi dengan event seperti Synchronize Fest atau Bandung Lautan Jazz. Intinya, modernisasi KA ini tidak hanya membuat perjalanan cepat, tetapi juga membuat Jabar lebih hidup, lebih sejahtera, dan lebih terhubung.












