Dua Guru Dipecat Gara-Gara Uang Rp20 Ribu

Kehidupan Guru yang Diuji oleh Kebijakan

LUWU UTARA – Kisah tragis dalam dunia pendidikan di Sulawesi Selatan kembali menggema, mengingatkan kita akan tantangan yang dihadapi para guru. Dua guru senior, Drs. Rasnal, M.Pd., dan Drs. Abd. Muis, harus menghadapi konsekuensi berat akibat tindakan mereka yang dianggap sebagai kebijakan urunan sebesar Rp20 ribu untuk membantu rekan-rekan sesama guru honorer.

Peristiwa ini terjadi sekitar lima tahun lalu di SMAN 1 Luwu Utara. Saat itu, sepuluh guru honorer mengeluh karena belum menerima honor selama sepuluh bulan. Penyebab utamanya adalah mereka belum terdaftar di sistem Dapodik, yang menjadi syarat pencairan gaji dari dana BOS.

Melihat situasi tersebut, kepala sekolah mengambil inisiatif dengan menggelar pertemuan bersama Komite Sekolah. Hasilnya, muncul kesepakatan kemanusiaan: setiap orang tua siswa yang mampu bisa menyumbang Rp20 ribu untuk membantu guru honorer.

Bagi keluarga yang memiliki dua anak, cukup membayar sekali, sedangkan yang tidak mampu tidak diwajibkan sama sekali. Namun niat baik ini justru berubah menjadi bumerang. Sebuah LSM melaporkan kebijakan tersebut ke pihak berwajib. Empat guru dipanggil, dua di antaranya—Rasnal dan Abd. Muis—ditetapkan sebagai tersangka.

Setelah berkas perkara dikirim ke kejaksaan, tidak ditemukan unsur pidana. Namun penyidikan ulang bersama inspektorat kembali dilakukan hingga muncul dugaan kerugian negara dan kasus berlanjut ke Pengadilan Tipikor Makassar.

Dalam sidang, keduanya dinyatakan tidak bersalah dan bahkan mendapat pemulihan nama baik. Tapi nasib berkata lain, kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan putusannya berbalik: dua guru itu dinyatakan bersalah dan divonis satu tahun penjara.

Sebagai bentuk solidaritas, para guru se-Luwu Utara melakukan aksi di kantor DPRD dan Bupati, menolak keputusan PTDH tersebut. Mereka menilai keputusan itu tidak adil, tidak manusiawi, dan mencederai martabat profesi guru. Kisah ini menjadi potret kelam dunia pendidikan. Dua guru yang seharusnya dipuji karena solidaritasnya, justru diperlakukan layaknya koruptor kelas kakap.

Padahal, yang mereka lakukan bukan untuk memperkaya diri, melainkan membantu sesama guru yang tidak digaji berbulan-bulan. Pertanyaan pun menyeruak: Di mana nurani birokrasi? Di mana letak keadilan hukum?

Jika urunan Rp20 ribu dianggap pelanggaran, bukankah negara yang lebih bersalah karena membiarkan guru honorer bekerja tanpa bayaran selama berbulan-bulan? Apakah data di sistem Dapodik kini lebih berharga daripada pengabdian di ruang kelas?

Guru bukan pencari kuasa, mereka pengabdi ilmu. Bila negara belum mampu menggaji tinggi, setidaknya muliakan mereka. Hargai setiap peluh dan kesabaran mereka di depan papan tulis.

Karena sejatinya, guru bukan hanya pendidik, mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang kini justru harus berjuang untuk mendapatkan keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *