Peningkatan Target Pendapatan Negara dalam RAPBN 2026
JAKARTA – Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menyetujui peningkatan target pendapatan negara sebesar Rp 5,9 triliun menjadi Rp 3.153,6 triliun dalam postur sementara Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan outlook pendapatan negara tahun 2025 yang sebesar Rp 3.005,1 triliun.
Peningkatan target pendapatan negara berasal dari beberapa komponen, antara lain:
- Kepabeanan dan Cukai: Ditetapkan naik sebesar Rp 1,7 triliun menjadi Rp 336 triliun.
- Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): Khususnya dari Kementerian dan Lembaga (K/L), ditargetkan naik sebesar Rp 4,2 triliun menjadi total Rp 459,2 triliun.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M Rizal Taufikurahman, menilai bahwa kenaikan target pendapatan negara tersebut lebih merupakan hasil dari penyesuaian akuntansi daripada terobosan struktural. Menurutnya, peningkatan hanya berasal dari tambahan kepabeanan dan cukai serta PNBP K/L tanpa adanya reformasi kelembagaan yang signifikan.
“Pemerintah memang menghindari opsi kenaikan tarif pajak demi alasan politik, namun strategi ini berisiko menekan sektor riil dan membuka celah moral hazard birokrasi lewat pungutan K/L yang tidak transparan,” ujarnya.
Agar target pendapatan negara tidak sekadar angka fiktif, Rizal menyarankan adanya perbaikan kepatuhan, evaluasi insentif yang menggerus basis pajak, serta tata kelola PNBP yang akuntabel. Dengan demikian, pendapatan negara bisa benar-benar tumbuh di atas fondasi yang kredibel dan berkelanjutan.
Strategi untuk Meningkatkan Penerimaan
Untuk mencapai target penerimaan tahun depan, Rizal menyarankan strategi yang lebih adil, seperti:
- Memperluas basis pajak melalui optimalisasi pajak sektor digital.
- Meningkatkan kepatuhan pajak bagi kelompok high wealth individual.
- Mempersempit ruang penghindaran pajak yang sering dimanfaatkan oleh korporasi besar.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi serius terhadap insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance. Dalam praktiknya, insentif ini sering tidak sebanding dengan manfaat investasi yang masuk. Sebaliknya, penerimaan dari pos ini justru bisa ditingkatkan.
Di sisi lain, penerimaan negara non-pajak seperti royalti tambang, migas, dan pungutan ekspor komoditas juga perlu dioptimalkan dengan tata kelola yang lebih transparan agar tidak bocor di level implementasi.
Pajak Hijau dan Pajak Dosa
Menurut Rizal, pengenaan pajak hijau dan pajak dosa tetap dapat dijalankan, tetapi harus bersifat selektif dan diarahkan pada tujuan kesehatan publik serta keberlanjutan lingkungan, bukan sekadar instrumen penambal defisit.
“Dengan demikian, prinsip yang perlu ditegakkan adalah perpajakan yang adil, di mana siapa yang memiliki kemampuan finansial lebih besar harus menanggung porsi kontribusi lebih besar pula, sehingga penerimaan negara bisa meningkat tanpa harus menambah tekanan langsung terhadap kelompok masyarakat bawah,” tutupnya.