Kebijakan Bahan Bakar Beretanol: Potensi dan Tantangan
JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mewajibkan penggunaan bahan bakar beretanol mulai tahun 2026. Langkah ini memicu perdebatan di kalangan industri otomotif, terutama karena kebijakan ini dianggap sebagai langkah penting menuju transisi energi hijau.
Namun, sejumlah pihak masih khawatir tentang kesiapan teknis kendaraan dan infrastruktur bahan bakar di lapangan. Kebijakan ini meniru model sukses biodiesel sawit (B40) yang telah diterapkan sebelumnya.
Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak, memperkuat ketahanan energi nasional, serta mempercepat peralihan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Meski demikian, tidak semua pihak setuju dengan implementasi yang tergesa-gesa.
Fitra Eri, seorang reviewer otomotif sekaligus pembalap nasional, menilai bahwa kebijakan ini idealnya dilakukan secara bertahap. Ia menekankan pentingnya memberikan waktu bagi industri otomotif dan penyedia bahan bakar untuk beradaptasi.
Etanol memiliki beberapa keunggulan, seperti meningkatkan oktan dan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Namun, nilai energinya lebih rendah dibandingkan bensin konvensional, sehingga dapat menyebabkan penurunan tenaga mesin dan peningkatan konsumsi bahan bakar.
Fitra juga mengingatkan bahwa etanol memiliki sifat yang mudah menyerap air dari udara. Hal ini berisiko menyebabkan korosi pada komponen mesin, terutama di negara tropis seperti Indonesia yang memiliki kelembapan tinggi.
Ia menegaskan bahwa etanol aman digunakan jika base fuel dan aditifnya dirancang khusus untuk campuran etanol. Sayangnya, banyak SPBU swasta belum siap karena aditif mereka masih berbasis bahan bakar konvensional.
Selain itu, Fitra menyatakan bahwa mobil-mobil modern relatif siap menghadapi bahan bakar beretanol. Namun, kendaraan lawas, terutama yang diproduksi pada era 1980–1990-an, berpotensi mengalami masalah.
Produsen otomotif perlu waktu untuk memastikan semua model baru yang dijual kompatibel dengan E10. Jangan sampai masyarakat menjadi korban akibat kerusakan mesin atau umur kendaraan yang pendek.
Fitra menekankan bahwa transisi menuju bahan bakar rendah emisi tetap penting, tetapi harus dilakukan dengan perencanaan matang. Perubahan ini boleh dilakukan, tapi jangan mendadak.
Pemerintah perlu memberikan waktu bagi industri untuk menyesuaikan diri, sehingga konsumen tetap mendapatkan bahan bakar berkualitas dan kendaraan yang awet.
Konsumsi BBM Nasional dan Kebutuhan Impor
Sebagai informasi tambahan, kebijakan ini muncul di tengah fakta bahwa konsumsi BBM nasional mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari. Sementara itu, produksi minyak domestik hanya sekitar 600 ribu barel per hari.
Artinya, Indonesia masih mengimpor sekitar 1 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Dengan mendorong pemanfaatan etanol berbasis bahan nabati, pemerintah berharap dapat menekan ketergantungan impor sekaligus membuka peluang bagi industri bioenergi nasional.
Namun, sebelum kebijakan ini benar-benar diterapkan, satu hal menjadi kunci: sinkronisasi antara visi energi hijau dan kesiapan teknis di lapangan.
Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa infrastruktur bahan bakar, termasuk stasiun pengisian bahan bakar (SPBU), siap menerima campuran etanol. Selain itu, produsen kendaraan perlu melakukan penyesuaian pada desain mesin agar kompatibel dengan bahan bakar E10.
Tanpa persiapan yang matang, kebijakan ini bisa berdampak negatif terhadap masyarakat dan industri.
Dengan begitu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap aspek dari kebijakan ini telah dipertimbangkan secara menyeluruh. Dari sisi teknis hingga sosial ekonomi, setiap elemen harus dipersiapkan dengan baik agar kebijakan ini tidak hanya efektif, tetapi juga berkelanjutan.