Habib Abubakar Alatas: Pahlawan AMRI yang Gugur di Semarang 1945

Sejarah Perjuangan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal

SEMARANG – Di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang, terdapat nisan sederhana yang bertuliskan nama Habib Abubakar Alatas.

Nisan ini menjadi saksi bisu keberanian seorang pejuang keturunan Arab yang gugur pada 16 Oktober 1945. Di usia muda, ia mengorbankan nyawa dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, sebuah peristiwa penting yang berlangsung dari 15 hingga 19 Oktober 1945.

Bersama ribuan pemuda Indonesia, Habib Abubakar Alatas, sebagai anggota Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), melawan pasukan Jepang yang menolak menyerah setelah proklamasi kemerdekaan.

Kisahnya menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia melibatkan berbagai etnis, termasuk keturunan Arab, yang berjuang bersama demi tanah air.

Pertempuran Lima Hari: Semangat Membara di Semarang

Pertempuran Lima Hari di Semarang, dikenal juga sebagai Palagan 5 Dina, merupakan salah satu peristiwa heroik dalam sejarah revolusi Indonesia.

Berlangsung dari 15 hingga 19 Oktober 1945, pertempuran ini dipicu oleh penolakan pasukan Jepang untuk menyerahkan senjata mereka kepada rakyat Indonesia setelah kekalahan mereka dalam Perang Dunia II.

Ketegangan memuncak pada 14 Oktober 1945, ketika 400 tawanan Jepang yang bekerja di Pabrik Gula Cepiring memberontak saat akan dipindahkan ke Penjara Bulu.

Mereka melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Kidobutai di Jatingaleh, di bawah komando Mayor Kido Shinichiro dan Jenderal Nakamura.

Insiden ini, ditambah kabar bahwa Jepang berencana meracuni Reservoir Siranda, sumber air minum Semarang, memicu kemarahan rakyat.

Pada 15 Oktober 1945, pertempuran pecah di empat titik kota: Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima. Pasukan Indonesia, yang terdiri dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), polisi, dan pemuda AMRI, melawan dengan semangat membara meski hanya bersenjatakan bambu runcing, senapan rampasan, dan keberanian.

“Kami bertarung dengan apa adanya, tapi hati kami penuh tekad untuk mempertahankan kemerdekaan,” ujar seorang veteran TKR dalam wawancara pada 15 Oktober 2023, mengenang semangat juang kala itu.

Pasukan Jepang, dengan persenjataan lebih lengkap, melancarkan serangan brutal, menewaskan ribuan pejuang dan warga sipil, termasuk dr. Kariadi, yang gugur ditembak saat menyelidiki isu peracunan air.

Pertempuran berlangsung sengit hingga 19 Oktober, ketika gencatan senjata akhirnya tercapai melalui perundingan yang melibatkan Kasman Singodimedjo dan RM Sartono dari pihak Indonesia, Letnan Kolonel Nomura dari Jepang, serta Brigadir Jenderal Bethell dari Sekutu. Pada 20 Oktober 1945, Sekutu melucuti senjata pasukan Jepang, menandai berakhirnya pertempuran.

Sekitar 2.000 jiwa gugur, dan kota Semarang porak-poranda, namun semangat perjuangan rakyat tetap tak padam. Monumen Tugu Muda, yang diresmikan Presiden Soekarno pada 20 Mei 1953, kini berdiri di Simpang Lima sebagai pengingat perjuangan ini.

Habib Abubakar Alatas: Pejuang AMRI dari Keturunan Arab

Habib Abubakar Alatas, yang gugur pada 16 Oktober 1945, adalah salah satu pejuang muda AMRI yang turut mengukir sejarah dalam Pertempuran Lima Hari.

Sebagai keturunan Arab, ia menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak mengenal batas etnis. AMRI, yang dipimpin oleh tokoh radikal seperti Ibnu Parna, dikenal sebagai organisasi pemuda lintas etnis yang fanatik pada ideologi kiri dan terinspirasi oleh Tan Malaka.

“AMRI adalah wadah pemuda dari Jawa, Sunda, Batak, Manado, Tionghoa, hingga Arab, yang bersatu demi satu tujuan: kemerdekaan,” ujar sejarawan lokal, Budi Raharjo, dalam peringatan 17 Agustus 2025.

Habib Abubakar Alatas, dengan semangat juangnya, menjadi bagian dari mozaik keberagaman ini.

Meski detail kehidupan pribadinya tidak banyak terekam, nisan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal mencatat bahwa ia gugur di usia muda, kemungkinan di tengah baku tembak atau sabetan katana pasukan Jepang.

“Nama Alatas di makam pahlawan itu bukan sekadar nama, tapi simbol bahwa kemerdekaan diraih bersama oleh semua anak bangsa,” kata seorang peneliti sejarah, Ahmad Zaini, pada 15 Oktober 2024.

Keterlibatan keturunan Arab seperti Habib Abubakar Alatas juga mencerminkan peran komunitas Alawiyyin dalam perjuangan, yang sering kali memadukan semangat nasionalisme dengan nilai-nilai spiritual.

Inklusivitas Perjuangan dan Tantangan Narasi Etnis

Kisah Habib Abubakar Alatas juga mengingatkan kita pada pentingnya inklusivitas dalam narasi sejarah kemerdekaan. Seperti yang pernah dilakukan Gus Dur saat menyoroti peran John Lie, seorang perwira TNI-AL keturunan Tionghoa, pengakuan terhadap kontribusi lintas etnis perlu terus digaungkan.

“Indonesia adalah rumah bersama, dibangun oleh darah dan keringat dari semua etnis, termasuk Arab dan Tionghoa,” ujar seorang tokoh masyarakat Semarang pada 17 Agustus 2025, menekankan pentingnya menghargai keberagaman dalam perjuangan.

Namun, narasi tentang kontribusi etnis minoritas seperti keturunan Arab atau Tionghoa kerap terpinggirkan dalam sejarah resmi, terutama pada era Orde Baru yang cenderung Jawa-sentris dan militeristik.

Sentimen anti-Arab, khususnya terhadap Alawiyyin, yang muncul di media sosial belakangan ini, juga menjadi pengingat bahwa tantangan keberagaman masih ada.

“Kita tidak bisa membiarkan narasi anti-etnis mengaburkan fakta sejarah. Habib Abubakar Alatas dan pejuang lain dari berbagai latar belakang adalah bukti persatuan kita,” ujar Ahmad Zaini dalam wawancara yang sama.

Tugu Muda: Warisan Semangat Palagan 5 Dina

Tugu Muda, yang berdiri megah di Simpang Lima, Semarang, menjadi simbol abadi perjuangan dalam Pertempuran Lima Hari.

Diresmikan pada 20 Mei 1953 oleh Presiden Soekarno, monumen ini tidak hanya mengenang ribuan pejuang yang gugur, termasuk Habib Abubakar Alatas, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kemerdekaan diraih melalui pengorbanan lintas etnis dan golongan.

“Tugu Muda adalah cermin semangat persatuan, di mana pemuda dari berbagai latar belakang bersatu melawan penjajah,” ujar Wali Kota Semarang dalam peringatan 15 Oktober 2024.

Monumen ini, dengan ornamen bambu runcing dan simbol Pancasila, menggambarkan semangat juang dan keberanian para pejuang. Di sekitar tugu, pahatan seperti Patung Pertempuran dan Patung Penyerangan mengabadikan kisah heroik AMRI dan TKR, termasuk perjuangan Habib Abubakar Alatas.

Setiap tahun, peringatan Pertempuran Lima Hari diadakan di sini, lengkap dengan teatrikal yang menghidupkan kembali semangat 1945 untuk generasi muda.

Makna Abadi Perjuangan Habib Abubakar Alatas

Keguguran Habib Abubakar Alatas pada 16 Oktober 1945 adalah bagian dari kisah besar perjuangan Indonesia. Sebagai anggota AMRI, ia mewakili semangat pemuda yang pantang menyerah, meski menghadapi musuh yang lebih kuat.

“Nama-nama seperti Alatas mengajarkan kita bahwa kemerdekaan adalah milik semua, bukan satu kelompok saja,” ujar Budi Raharjo pada 17 Agustus 2025. Kisahnya juga menjadi pengingat bahwa narasi sejarah harus inklusif, menghargai kontribusi setiap etnis, termasuk keturunan Arab yang turut berjuang.

Di tengah tantangan modern, seperti sentimen anti-etnis di media sosial, warisan Habib Abubakar Alatas mengajak kita untuk kembali pada nilai persatuan.

“Kemerdekaan adalah amanah yang harus dijaga bersama, tanpa memandang suku atau agama,” tegas seorang tokoh masyarakat Semarang pada peringatan kemerdekaan tahun ini.

Dengan mengenang pahlawan seperti Habib Abubakar Alatas, generasi kini diajak untuk tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang lebih bersatu dan adil.

Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal dan Tugu Muda akan terus berdiri sebagai pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia diraih melalui darah dan keringat para pejuang dari berbagai latar belakang.

Nama Habib Abubakar Alatas, yang terpahat di nisan dan dalam sejarah, adalah salah satu cahaya yang menerangi jalan panjang perjuangan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *