IMF: Dolar dan Suku Bunga Ancam Stabilitas Asia

Tantangan Ekonomi Asia Akibat Penguatan Dolar dan Kenaikan Suku Bunga Global

JAKARTA – Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan kenaikan suku bunga global menjadi ancaman baru bagi stabilitas ekonomi Asia. IMF menyatakan bahwa dua faktor ini bisa memengaruhi ketahanan keuangan kawasan yang sedang menghadapi tekanan dari tarif AS dan pelemahan permintaan China.

Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, Krishna Srinivasan, menjelaskan bahwa beban utang di Asia membuat kawasan ini rentan terhadap perubahan kondisi keuangan global.

Ia menekankan bahwa jika suku bunga mulai naik, terutama suku bunga jangka panjang, hal itu dapat berdampak signifikan terhadap Asia. Biaya pembayaran utang terhadap pendapatan yang cukup tinggi menjadi salah satu masalah utama.

Dalam laporan prospek ekonomi regional yang dirilis, IMF menyoroti risiko eksternal seperti penguatan dolar dan suku bunga tinggi yang dapat mempersempit ruang kebijakan moneter di Asia. Negara-negara berkembang berisiko menghadapi arus modal keluar dan tekanan terhadap nilai tukar jika investor beralih ke aset dolar.

Srinivasan menilai bahwa pelemahan dolar dan penurunan suku bunga The Federal Reserve bisa memberi ruang bagi bank sentral Asia untuk melonggarkan kebijakan moneter tanpa khawatir modal keluar.

Namun, ia juga menegaskan bahwa jika dolar menguat, hal tersebut dapat memengaruhi Asia. Kondisi keuangan yang selama ini mendukung bisa berubah, yang menjadi risiko besar bagi kawasan ini.

IMF menilai beberapa negara mungkin perlu melanjutkan pelonggaran moneter untuk menjaga inflasi tetap sesuai target dan mempertahankan stabilitas harga. Inflasi di Asia memang lebih terkendali dibandingkan kawasan lain, meski sempat naik akibat lonjakan harga energi dan bahan baku setelah perang Rusia-Ukraina.

Srinivasan menilai kondisi ini menunjukkan kemampuan bank sentral Asia dalam menjaga kepercayaan publik. Ia menekankan pentingnya independensi bank sentral agar mereka dapat mencapai tujuan mereka, terutama stabilitas harga.

Namun, ia juga menambahkan bahwa independensi tersebut harus disertai dengan tanggung jawab kepada masyarakat luas. Bank sentral tidak boleh dibebani dengan banyak mandat.

Dalam laporan yang sama, IMF tetap melihat prospek ekonomi Asia cukup solid, meskipun tekanan global meningkat. IMF memperkirakan ekonomi kawasan tumbuh 4,5 persen pada 2025, sedikit lebih lambat dari 4,6 persen pada tahun sebelumnya.

Proyeksi ini naik 0,6 poin dari perkiraan April lalu karena ekspor menguat, terutama akibat percepatan pengiriman barang sebelum tarif AS yang lebih tinggi berlaku.

Pertumbuhan diperkirakan melambat menjadi 4,1 persen pada 2026 akibat ketegangan dagang, pelemahan permintaan China, dan konsumsi yang menurun di negara berkembang.

Ketidakpastian kebijakan perdagangan masih tinggi dan dapat membebani investasi serta sentimen lebih dari yang diperkirakan.

Srinivasan menegaskan bahwa integrasi perdagangan antarnegara Asia perlu diperkuat agar kawasan tidak terlalu bergantung pada pasar AS dan Eropa.

Integrasi regional dinilai dapat menjadi penyangga terhadap guncangan eksternal. Jika Asia lebih terintegrasi dengan kawasan ini, hal itu sendiri akan memberikan penyangga terhadap guncangan eksternal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *