Kekhawatiran Pelaku Industri Sawit Akibat Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2025
JAKARTA – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar di kalangan pelaku industri sawit.
Aturan ini dinilai memberatkan sektor perkebunan kelapa sawit, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Beban denda yang dikenakan sangat tinggi, hingga mengancam keberlanjutan bisnis mereka.
Denda yang Menyulitkan Pelaku Usaha
Salah satu poin utama dalam PP 45/2025 adalah peningkatan tarif denda administratif. Denda sebesar Rp 25 juta per hektare per tahun diberlakukan untuk lahan sawit yang dikategorikan sebagai pelanggaran.
Jika seseorang memegang lahan selama 20 tahun, maka total dendanya bisa mencapai Rp 375 juta per hektare. Angka ini jauh melampaui nilai pasar lahan sawit yang hanya berkisar antara Rp 50 hingga 100 juta per hektare.
Denda yang sangat tinggi ini dinilai tidak proporsional dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Pengenaan denda seharusnya disesuaikan dengan keuntungan yang diperoleh, bukan berdasarkan jumlah tetap yang memberatkan.
Hal ini dapat menyebabkan arus kas perusahaan menjadi terganggu, bahkan berpotensi menyebabkan krisis kredit perbankan.
Kritik terhadap Proses Pembuatan Aturan
Pakar Hukum Kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia, Sadino, menilai bahwa proses pembuatan PP 45/2025 tidak melibatkan pemangku kepentingan utama, termasuk petani sawit yang memiliki sekitar 42 persen lahan sawit nasional.
Ia juga menyatakan bahwa aturan ini beralih dari pendekatan pembinaan menjadi penghukuman, yang berpotensi merusak sektor sawit.
Selain itu, ia menyoroti bahwa sebagian besar izin perkebunan kelapa sawit muncul karena kebijakan otonomi daerah setelah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Kesalahan tata kelola kawasan hutan di masa lalu tidak sepenuhnya berada di tangan masyarakat atau pelaku sawit, melainkan juga tanggung jawab pemerintah sebelumnya.
Potensi Dampak Negatif pada Investasi
Sadino juga menilai bahwa PP 45/2025 berpotensi memperburuk iklim investasi di Indonesia. Aturan ini memberi sinyal negatif kepada investor internasional bahwa Indonesia merupakan wilayah berisiko tinggi.
Selain itu, aturan ini berlaku surut, sehingga pemenuhan kewajiban hukum tidak lagi menjamin perlindungan investasi.
Ia menyarankan agar pemerintah kembali mengembalikan semangat PP ini sesuai mandat UU Cipta Kerja, serta membuka ruang dialog dengan pelaku sawit. Ia berharap Presiden Prabowo Subianto meninjau ulang PP 45/2025 agar kebijakan yang diterapkan lebih adil dan berkelanjutan.
Penertiban Kawasan Hutan dan Tantangan yang Dihadapi
Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah melakukan penertiban lahan ilegal sepanjang tahun 2024. Sampai September lalu, sudah ada 3.312.022,75 hektare lahan yang berhasil dikuasai kembali. Dari luasan tersebut, 915.206,46 hektare sudah diserahkan kepada kementerian terkait.
Sejumlah lahan diberikan kepada BUMN dan perusahaan swasta untuk pengelolaan produktif, sementara sebagian lainnya dikembalikan sebagai kawasan konservasi. Namun, masih ada sebagian besar lahan yang dalam proses administrasi dan akan segera diserahkan.
Ketua Pelaksana Satgas PKH, Febrie Adriansyah, menyatakan bahwa penertiban kawasan hutan tidak hanya bertujuan untuk pemberian sanksi pidana, tetapi juga untuk mengembalikan kawasan hutan kepada negara. Para pelaku diwajibkan mengembalikan keuntungan yang diperoleh secara tidak sah kepada negara.
Jika ada pihak yang tidak kooperatif, penyelesaian dapat ditingkatkan ke ranah penegakan hukum pidana. Febrie berharap langkah tegas ini mendapat respons positif dari pelaku usaha.
Keberhasilan implementasi kebijakan ini akan memperkuat posisi negara dalam mengelola sumber daya alam demi kepentingan rakyat. Sebaliknya, kegagalan akan berimplikasi pada penindakan hukum yang lebih keras.