Jejak Kehidupan Burhanuddin Abdullah, Mantan Napi Koruptor yang Dianugerahi Penghargaan oleh Prabowo

Profil Burhanuddin Abdullah: Dari Mantan Napi Korupsi Hingga Menerima Penghargaan Tinggi

JAKARTA – Burhanuddin Abdullah kini menjadi sorotan publik setelah menerima penghargaan dari Presiden Republik Indonesia.

Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana, salah satu tanda kehormatan tertinggi di Indonesia. Namun, penghargaan ini juga memicu berbagai reaksi dari masyarakat, baik yang mendukung maupun yang menolak.

Latar Belakang dan Karier Burhanuddin Abdullah

Lahir di Garut, Jawa Barat, pada 10 Juli 1947, Burhanuddin Abdullah memiliki latar belakang pendidikan yang kuat. Ia lulus dengan gelar Sarjana Pertanian (Ir) dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung, pada tahun 1974.

Selanjutnya, ia melanjutkan studi hingga meraih gelar Master of Arts (MA) dalam bidang Ekonomi dari Michigan State University, Amerika Serikat, pada 1984. Pada 2006, ia juga menyandang gelar Doktor Honoris Causa bidang ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip).

Dalam perjalanan karier, Burhanuddin Abdullah terlibat aktif dalam dunia perbankan dan pemerintahan. Ia mulai bekerja di Bank Indonesia (BI) sejak tahun 1979. Karena kemampuannya, ia naik jabatan secara bertahap.

Pada masa reformasi, ia pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Bidang Riset Ekonomi dan Moneter BI, serta Direktur Direktorat Luar Negeri BI. Tahun 2000 menjadi titik penting dalam kariernya ketika ia ditunjuk sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia.

Setelah itu, ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di bawah Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada tahun 2003 hingga 2008, ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Selain itu, ia juga pernah menjadi Gubernur untuk International Monetary Fund (IMF) di Washington DC.

Tersandung Kasus Korupsi

Meski memiliki rekam jejak karier yang cemerlang, Burhanuddin Abdullah justru tersandung kasus hukum. Pada tahun 2008, ia terlibat dalam korupsi aliran dana BI.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menghukumnya selama lima tahun penjara subsider enam bulan kurungan. Ia juga diwajibkan membayar denda senilai Rp 250 juta.

Dalam perkara tersebut, Burhanuddin Abdullah bersama para anggota Dewan Gubernur BI dinilai telah menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar.

Dana itu digunakan untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), serta amendemen Undang-Undang Bank Indonesia (UU BI). Hakim menyebutkan bahwa Burhanuddin Abdullah bersalah karena menyetujui pengambilan dana YPPI meski ragu dan tergantung dengan pendapat anggota dewan gubernur lain.

Kembali Berkiprah

Setelah menjalani hukuman di penjara, Burhanuddin Abdullah kembali aktif dalam dunia pendidikan dan bisnis. Ia pernah menjadi Rektor Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN) periode 2011-2023.

Setelah itu, ia ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sejak Juli 2024. Ia juga sempat menjabat sebagai Ketua Tim Pakar dan Inisiator Danantara pada 2025.

Pernah Menerima Penghargaan Sebelumnya

Sebelum menerima Bintang Mahaputera Adipradana, Burhanuddin Abdullah pernah menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2007. Saat itu, ia masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Penghargaan yang diberikan adalah Bintang Mahaputera Utama.

Di era Presiden Prabowo Subianto, ia kembali menerima penghargaan. Kali ini, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana, tanda kehormatan tertinggi kedua di Indonesia. Penghargaan ini diberikan atas jasa dan kontribusi besar yang telah diberikan oleh individu dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Reaksi Publik

Pemberian penghargaan kepada Burhanuddin Abdullah memicu pro dan kontra. Beberapa orang sepakat dengan penghargaan ini, sementara banyak yang tidak sepakat.

Alasan utama mereka adalah status Burhanuddin Abdullah yang pernah dipenjara karena korupsi. Meskipun demikian, penghargaan ini tetap menjadi bagian dari pengakuan resmi negara atas jasa-jasa yang telah diberikan oleh individu.