Kampung Tanpa Matahari: Kehidupan di Bawah Rel Kereta Jakarta
JAKARTA – Di beberapa bagian Jakarta, terdapat kampung-kampung yang tampak seperti tidak pernah mengenal siang hari. Cahaya matahari nyaris tidak pernah menyentuh permukiman warga karena tertutup oleh bangunan-bangunan yang rapat dan berdekatan.
Di antara kampung-kampung ini, ada satu hal yang sama, yaitu lokasinya berada di sisi bahkan di bawah lintasan rel kereta. Bagaimana kehidupan di kampung-kampung “tanpa matahari” ini?
Lorong-Lorong Gelap di Kampung Tongkol
Kampung Tongkol, yang terletak di Kelurahan Ancol, Jakarta Utara, adalah salah satu contoh kampung yang hidup dalam kegelapan. Lorong-lorong sempit dengan lebar sekitar 1,5 meter menjadi satu-satunya jalur bagi warga untuk berlalu-lalang. Dinding bata yang menempel rapat tanpa celah menciptakan suasana yang sangat gelap.
Di tengah kegelapan itu, jemuran pakaian menggantung lembap karena tak tersentuh sinar matahari. Getaran dan suara kereta sudah menjadi ritme hidup harian warga. Tias (54), salah satu warga yang tinggal di sini selama lebih dari dua dekade, mengatakan bahwa mereka telah beradaptasi dengan lingkungan tersebut.
Tias pindah dari Kampung Sumur, Klender, ke Kampung Tongkol demi mendekatkan diri dengan tempat kerja suaminya di Taman Sari, Jakarta Barat. Awalnya, ia hanya menyewa rumah selama setahun dengan biaya Rp 1,4 juta. Namun, seiring waktu, rumah kontrakan itu akhirnya bisa ia beli.
Rumah di Tanah Milik PJKA
Tias menyadari bahwa rumah yang ia tempati berdiri di atas lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) atau Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Karena itu, warga tidak pernah membayar pajak bumi dan bangunan. Alhamdulillah, kami tidak bayar pajak tanah. Ini dari PJKA,” ujarnya.
Ketua RT 07 RW 01 Kampung Tongkol, Saprudin, menjelaskan bahwa kawasan ini pernah dibongkar besar-besaran pada tahun 1989. Namun, warga kembali menghuni lahan tersebut pada masa reformasi 1998. Ia juga mengungkapkan bahwa praktik jual beli bangunan marak dilakukan tanpa sepengetahuan RT karena tanah tersebut adalah aset negara.
“Mereka tuh jual semua (bentuknya) bangunan, bukan tanah karena itu kan tanah PJKA. Jadi kalau mereka sudah bangun (lalu) bosan, semuanya dijual,” jelas Saprudin.
Transaksi sering kali dilakukan tanpa surat atau sertifikat resmi. Hal ini menyebabkan beberapa masalah, seperti persaingan saat pemilik meninggal.
Siang yang Tak Pernah Terang di Kampung Pasar Pisang
Fenomena serupa juga terjadi di Kampung Pasar Pisang, Taman Sari, Jakarta Barat. Rumah semi permanen bertumpuk antara yang di pinggir rel dan yang di bawah gang sempit, membuat sinar matahari tidak pernah menembus ke dalam.
Sisi atas gang tertutup rangkaian kayu dan bambu yang menjadi pijakan bangunan di sisi rel kereta. Beberapa lorong benar-benar gelap gulita, hanya diterangi lampu kecil yang menyala 24 jam.
Wiwik (39), warga setempat, mengaku sering bingung membedakan siang dan malam karena kondisi yang gelap. Ia juga kesulitan menjemur pakaian karena minimnya cahaya matahari. “Ya kita mau enggak mau nyari aja, mana yang masih kena matahari. Atau kalau enggak, ya kita ke atas rel. Kadang numpang sama tetangga yang di atas,” ujarnya.
Namun, menjemur di sisi rel juga berisiko. “Kadang juga enggak ketauan hujannya, apalagi kalau angin kencang pas ada kereta, kadang bisa terbang,” katanya.
Tantangan Kesehatan dan Ketimpangan Akses
Selain persoalan cahaya dan ruang, warga di kampung padat seperti Pasar Pisang juga menghadapi keterbatasan fasilitas kesehatan. Windi, warga yang tinggal sejak lahir, menilai kebutuhan fasilitas dasar menjadi hal mendesak.
“Harapan untuk kita tuh enggak banyak, cuma pengin ada diperhatiin lagi aja fasilitas pendidikan dan kesehatan, terutama kesehatan ya,” ujarnya.
Ia mengusulkan agar tiap RT memiliki klinik sederhana yang dapat menjadi pos pertolongan pertama. “Kepenginnya itu di setiap RT itu ada satu ya, semacam klinik RT gitu. Di sini aja kan satu RT tuh kalau enggak salah 200 KK,” katanya.
Menurutnya, fasilitas kesehatan di tingkat lingkungan penting karena banyak warga pendatang yang tidak memiliki BPJS. “Di sini kan banyak pendatang, enggak bisa mereka kalau pakai BPJS, sementara kan ya pasti butuh, apalagi buat anak-anak juga,” ujarnya.
Menolak Relokasi Tanpa Solusi
Meski tinggal di lingkungan yang gelap dan padat, sebagian besar warga menolak rencana relokasi. Mereka khawatir tempat baru yang dijanjikan tidak sesuai dengan kebutuhan. Wiwik mengatakan bahwa banyak warga yang justru kembali ke kawasan kumuh setelah digusur karena tidak mampu membayar kontrakan di tempat lain.
“Seringnya warga gini kan dianggap ilegal, digusur dijanjiin ini itu, tapi akhirnya enggak dapat apa-apa. Mau enggak mau ujungnya pindah ke tempat kayak gini lagi,” jelasnya.
Windi juga meminta agar pemerintah tidak hanya menyoroti sisi negatif kampung mereka. “Saya enggak mau warga sini dilihat dengan keadaan yang seolah-olah di sini butuh bantuan banget, tidak sama sekali,” katanya.
Menurutnya, warga Kampung Pasar Pisang hidup seperti masyarakat pada umumnya dan hanya berharap agar fasilitas dasar lebih diperhatikan. “Saya lebih baik mending di sini dengan keadaan baik-baik dan hidup tenang. Cuma, lebih diperhatikan lagi aja soal kesehatan, pendidikannya aja, itu udah cukup dibanding kita direlokasi tapi tidak sesuai dengan harapan,” ujar Windi.
Kampung-kampung di bawah rel kereta seperti Tongkol dan Pasar Pisang mencerminkan sisi tersembunyi urbanisasi Jakarta, yakni keterbatasan ruang, ketimpangan akses, dan adaptasi warga terhadap kondisi ekstrem kota padat. Lantas, bagaimana solusi untuk para warga yang hidup di tempat yang kurang layak dan tidak semestinya seperti ini?









