Kehidupan Nur Amira yang Berada di Tengah Konflik Kewarganegaraan
JAKARTA – Nur Amira, seorang perempuan berusia 43 tahun, kembali mengalami pengalaman tidak menyenangkan setelah dideportasi dari Indonesia ke Malaysia.
Ia kini harus menghadapi tantangan baru dalam memperjuangkan status kewarganegaraannya, sementara anaknya, Zahira, juga terdampak oleh situasi ini.
Nur Amira lahir di Malaysia pada tahun 1988 dan dibawa ke Indonesia oleh ibunya bersama ayah tirinya pada usia delapan tahun. Ia tinggal di Payakumbuh selama hampir 28 tahun.
Selama masa itu, ia mendapatkan KTP dan NIK sebagai warga negara Indonesia. Namun, statusnya sebagai WNA ilegal akhirnya diketahui oleh pihak Imigrasi Agam pada tahun 2024. Akibatnya, ia dideportasi ke Malaysia pada Oktober 2024.
Setelah dideportasi, Nur Amira mencoba mengurus dokumen kependudukannya di Malaysia, tetapi menemukan kesulitan karena data identitasnya hilang. Ia ditangkap oleh polisi pantai di Malaysia karena diduga sebagai pendatang gelap.
Setelah menjalani pemeriksaan, ia dinyatakan sebagai warga negara Malaysia, namun tidak dapat membuktikan identitasnya secara sah.
Akibatnya, ia dipenjara selama dua bulan dan kemudian dideportasi kembali ke Indonesia melalui Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru.
Setelah kembali ke Indonesia, Nur Amira mencoba memperbaiki status kependudukannya dengan mengajukan permohonan kepada Kantor Imigrasi Agam. Namun, upayanya tidak berhasil karena SPLP yang diberikan oleh KJRI Johor Bahru dicabut.
Ia pun kembali ditahan di ruang detensi Kantor Imigrasi Agam. Situasi ini membuat Nur Amira khawatir akan dideportasi lagi, terutama karena status kewarganegaraannya masih belum jelas.
Dampak pada Anak Nur Amira: Zahira
Zahira, putri tunggal Nur Amira yang berusia 15 tahun, sangat terpengaruh oleh situasi ini. Ia menjadi sangat stres dan bahkan memutuskan untuk tidak mengikuti ujian tengah semester di sekolahnya. Sebagai siswa berprestasi, Zahira merasa sulit fokus belajar karena kekhawatiran terhadap nasib ibunya.
Selain itu, Zahira harus mengambil alih pekerjaan ibunya di peternakan burung puyuh, termasuk membersihkan rumah, kandang, dan menggarap rumput untuk makanan kambing. Ia juga diminta untuk membantu bekerja di kafe, meskipun sebelumnya hanya melakukan tugas-tugas sederhana.
Zahira sangat takut kehilangan ibunya lagi. Ia memutuskan untuk membuat surat kepada Kepala Imigrasi Agam dan Ombudsman Sumbar, memohon agar ibunya tidak dideportasi kembali. Upaya ini juga dilakukan oleh Dhila Putri, pemilik Dhila Farm tempat Nur Amira bekerja, serta bantuan dari LBH Padang.
Perspektif Hukum dan Pemerintah
Pihak Imigrasi Agam menjelaskan bahwa tindakan mereka dilakukan karena Nur Amira dinyatakan sebagai WNA ilegal. Menurut Putu Agus Sugiarto, Kepala Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian, Nur Amira memiliki status sebagai warga negara Malaysia.
Meski ia tinggal di Indonesia selama bertahun-tahun, ia tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi WNI.
Ali Imran, Kepala Bidang Pelayanan dan Administrasi Kependudukan (Kabid Adminduk) Disdukcapil Kota Payakumbuh, mengungkapkan bahwa pencabutan NIK Nur Amira dilakukan karena ia tidak mengikuti tahapan yang benar untuk menjadi WNI.
Proses ini melibatkan pengajuan Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) selama beberapa tahun.
Meski demikian, Ali Imran mengakui bahwa pemblokiran NIK Nur Amira adalah kesalahan administratif dari pemerintah pada saat itu. Ia menyarankan agar pihak imigrasi tidak terlalu kaku dalam menangani kasus seperti Nur Amira, terutama karena ada keluarga yang bisa menjadi penjamin.
Perspektif Ilmuwan dan Hak Asasi Manusia
Virtuous Setyaka, pengamat hubungan internasional dari Universitas Andalas (Unand), menilai bahwa Nur Amira termasuk dalam kategori orang tanpa kewarganegaraan (stateless person).
Ia menekankan pentingnya pendekatan kemanusiaan dalam menangani kasus ini, terutama karena Nur Amira memiliki anak yang masih membutuhkan dukungan dari ibunya.
Menurut Virtuous, tindakan deportasi yang dilakukan oleh pihak imigrasi bisa berdampak negatif terhadap citra Indonesia di mata dunia. Ia menyarankan agar pemerintah lebih bijaksana dalam menyelesaikan masalah kewarganegaraan, terutama dalam konteks hak asasi manusia.
Solusi dan Harapan
Dalam rangka menyelesaikan masalah ini, pihak Imigrasi Agam sedang berkoordinasi dengan Konsulat Jenderal Malaysia di Medan untuk menerbitkan dokumen perlakuan cemas bagi Nur Amira.
Dokumen tersebut akan digunakan untuk pendeportasian kembali ke Malaysia. Namun, hingga saat ini, tanggal pasti untuk tindakan tersebut belum ditentukan.
Di sisi lain, pihak LBH Padang dan Komnas HAM Sumbar terus berupaya memastikan bahwa tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap Nur Amira. Mereka juga berharap agar pihak imigrasi dapat memberikan solusi yang lebih manusiawi, terutama dalam konteks kepentingan anak Nur Amira.
Nur Amira dan Zahira terus berharap agar situasi ini dapat segera diselesaikan dengan cara yang adil dan manusiawi, sehingga mereka dapat kembali hidup tenang dan aman di Indonesia.