Jabar  

Konsep Pagar Gedung Sate Viral, Ahli Sebut Gapura Candi Bentar Menarik

Pembangunan Gerbang Gedung Sate Diperbincangkan di Media Sosial

BANDUNG – Pembangunan gerbang Gedung Sate di Kota Bandung kini menjadi topik yang ramai dibicarakan di media sosial. Banyak orang memberikan berbagai pendapat, baik dukungan maupun kritik terhadap proyek tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat peduli dengan keberadaan bangunan sejarah yang memiliki nilai budaya dan historis.

Tubagus Adhi, ahli cagar budaya sekaligus humas dari Bandung Heritage Society, memberikan penjelasan mengenai konsep pembangunan gerbang Gedung Sate.

Ia memastikan bahwa tidak ada kesalahan dalam penggunaan konsep Budaya Sunda dalam pembangunan tersebut. Menurutnya, gerbang Gedung Sate bukanlah bagian dari cagar budaya. Pagar yang dibangun bukan merupakan hasil dari masa kolonial Belanda.

“Dalam masa kolonial, tidak ada pagar di sekitar Gedung Sate. Tapi saat ini, penting untuk memperkuat keamanan. Bayangkan jika terjadi kejadian seperti kemarin, di mana gedung DPRD dibakar. Bagaimana kalau ada yang iseng dan membakar gedung ini?” ujar Adhi.

Adhi juga menjelaskan bahwa regulasi tentang cagar budaya diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010. Dalam aturan tersebut, pengembangan cagar budaya diperbolehkan selama sesuai dengan kebutuhan masa kini. Namun, pembangunan harus tetap menjaga nilai-nilai yang melekat pada bangunan tersebut.

“Ini terkait dengan nilai penting. Pagar harus mendukung aksesibilitas bagi pejalan kaki, difabel, atau bahkan dalam situasi darurat seperti kebakaran,” tambahnya.

Menurut Adhi, tidak ada yang salah dengan konsep Candi Bentar yang digunakan dalam pembangunan gerbang Gedung Sate. J. Gerber, arsitek Gedung Sate, merancang bangunan tersebut dengan gaya art deco yang menggabungkan elemen kolonial dan tradisional Nusantara.

“Gedung Sate dirancang dengan gaya elektik yang kita kenal sebagai art deco. Di Eropa, gaya ini terinspirasi dari makam Firaun di Mesir, sedangkan di Amerika terinspirasi dari makam suku Aztec. Di Indonesia, khususnya Jawa pada masa Hindia Belanda, gaya ini mereposisi ke Candi Hindu-Budha,” jelasnya.

Ia menilai bahwa Gapura Candi Bentar memiliki konteks yang kuat dan menyimpan nilai sejarah. Di Bandung, konsep ini baru diterapkan, berbeda dengan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang sudah lebih dahulu menerapkannya.

Pendapat dari Ahli Cagar Budaya Nasional

Prof. Dr. Reiza D. Dienaputra, anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN), juga memberikan tanggapannya terkait renovasi gerbang Gedung Sate yang menggunakan arsitektur Jawa, yaitu Candi Bentar.

Ia menegaskan bahwa pembangunan pilar-pilar tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan nilai cagar budaya nasional yang melekat pada Gedung Sate.

Reiza menekankan bahwa gerbang bukan bagian dari bangunan Gedung Sate yang harus dilestarikan.

“Saya rasa tidak ada masalah dari sisi kecagarbudayaan dengan dibangunya pilar-pilar tersebut dengan menonjolkan elemen tradisional. Justru perlu diketahui, bahwa Gedung Sate itu tidak semuanya murni menerapkan gaya arsitektur Eropa. Di sana ada elemen Hindu, misalnya tusuk sate yang bernilai 6 juta gulden,” ujarnya.

Dengan demikian, pembangunan gerbang Gedung Sate yang mengusung konsep Candi Bentar dinilai tidak melanggar aturan cagar budaya. Proses ini menunjukkan upaya untuk menggabungkan nilai sejarah dengan kebutuhan modern tanpa menghilangkan esensi budaya lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *