Kritik Leony Vitria terhadap Anggaran Pemkot Tangsel
JAKARTA – Leony Vitria, mantan artis cilik yang kini aktif dalam berbagai isu sosial, mengungkapkan kekecewaannya terhadap alokasi anggaran Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) pada tahun 2024.
Ia menilai beberapa pos anggaran yang dianggap tidak seimbang dan tidak proporsional dengan kebutuhan masyarakat. Dalam unggahannya di media sosial, Leony membagikan laporan keuangan Pemkot Tangsel yang terdiri dari 520 halaman.
Ia menyoroti beberapa anggaran yang dinilai janggal, seperti besarnya biaya konsumsi rapat dibandingkan anggaran perbaikan jalan serta pengeluaran besar untuk alat kantor dan suvenir.
Anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp 5 triliun, termasuk pendapatan dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar Rp 733 miliar.
Penjelasan Pemkot Tangsel Mengenai Anggaran
Pemkot Tangsel merespons kritik tersebut dengan menyatakan bahwa besaran anggaran telah ditetapkan dalam APBD 2024 yang sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Mereka menjelaskan bahwa semua anggaran telah melalui proses pembahasan bersama dengan DPRD dan disahkan menjadi APBD.
Eko Sembodo, ahli keuangan dan perhitungan kerugian negara, memberikan penjelasan terkait proses penganggaran. Menurutnya, setiap tahun BPK melakukan pemeriksaan terhadap seluruh kegiatan yang dana untuknya telah disahkan dalam APBD.
Jika ada kenaikan atau kejanggalan anggaran, BPK pasti akan mengetahuinya. Eko juga menekankan bahwa anggaran yang dibuat oleh pemerintah daerah sejatinya sudah dibahas dengan DPRD dan disahkan menjadi APBD.
Proses Penganggaran yang Transparan
Eko menjelaskan bahwa jika ada kenaikan anggaran untuk satu kegiatan tiap tahunnya, maka akan dibicarakan lagi dengan DPRD untuk disahkan.
Setelah itu, anggaran yang telah diaudit akan dijadikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan diserahkan ke DPRD dan Kepala Daerah. Menurut Eko, meskipun ada anggaran yang besar, belum tentu ada kerugian negara karena seluruh anggaran telah dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah dan DPRD.
Jika masyarakat ingin mengkritik mengenai kejanggalan atau besarnya anggaran, Eko menyarankan agar disampaikan melalui DPRD. Ia juga menekankan pentingnya membaca perhitungan anggaran secara komprehensif dan jangan hanya melihat besaran nilai semata, tetapi juga asas kemanfaatannya.
Awal Kritikan Leony: Anggaran yang Dinilai Tidak Proporsional
Awal kritikan Leony dimulai saat ia mengunggah laporan keuangan Pemkot Tangsel 2024 melalui akun Instagram pribadinya, @leonyvh.
Dalam unggahan tersebut, ia memperlihatkan realisasi kinerja APBD tahun anggaran 2024 berdasarkan program pemerintah daerah Tangsel.
Leony menyoroti beberapa pos anggaran yang dianggap janggal, seperti program nomor 1 (program penunjang urusan pemerintah daerah Kabupaten/Kota) yang menyedot anggaran hingga Rp 2 triliun.
Ia juga memperhatikan anggaran untuk program pemerintahan dan kesejahteraan rakyat (nomor 106) serta program dukungan pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD (nomor 108) yang memiliki nilai hampir sama.
Selain itu, Leony mempertanyakan anggaran untuk program peningkatan peran partai politik dan lembaga pendidikan sebesar Rp 51 miliar.
Kecurigaan Terhadap Pengeluaran Pemkot Tangsel
Leony juga merasa heran dengan jumlah anggaran yang digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai sebesar Rp 1,2 triliun. Ia mempertanyakan penggunaan anggaran untuk perjalanan dinas, alat tulis kantor, dan kebutuhan rapat yang nilainya sangat fantastis.
Contohnya, Rp 117 miliar untuk perjalanan dinas, Rp 38 miliar untuk alat tulis kantor, dan Rp 20 miliar untuk suvenir.
Selain itu, Leony mengungkapkan keheranannya terhadap anggaran untuk pemeliharaan jalan, jaringan, dan irigasi yang hanya sebesar Rp 731 juta. Ia juga memperhatikan anggaran bansos yang hanya sebesar Rp 136 juta, yang menurutnya tidak cukup untuk kebutuhan masyarakat.
Kritik terhadap Anggaran Pendidikan
Leony juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap anggaran pendidikan Pemkot Tangsel senilai Rp 756 miliar. Meskipun anggaran besar, gaji guru honorer hanya sebesar Rp 500 ribu. Hal ini membuatnya merasa bingung dengan alokasi anggaran yang tidak proporsional.
Akhirnya, Leony menyoroti penyusunan dokumen perencanaan peringkat daerah yang memakan anggaran sebesar Rp 494 juta dalam satu pertemuan. Ia menegaskan bahwa anggaran harus lebih transparan dan berfokus pada kebutuhan masyarakat.












