Ragam  

Mengapa Tulisan Tangan Milenial Kurang Bagus? Ini Karya Peserta TKM Assyakur Noy Euis

Pengalaman Menulis yang Menginspirasi

Pada hari Sabtu tanggal 6 September 2025, ada momen yang sangat berkesan bagi seseorang yang usianya tidak lagi muda. Saat itu, penulis mendapatkan ilmu baru tentang bagaimana menulis bisa menjadi hal yang mudah dan menyenangkan. Ilmu tersebut berasal dari seorang jurnalis bernama H. Sarnapi dari Jurnal Soreang.

Awalnya, penulis merasa ragu untuk mencoba menulis. Namun, dorongan kuat dari dalam hati membuatnya berani mengambil langkah pertama. Tujuannya adalah agar generasi cucu saat ini bisa lebih memahami pentingnya menulis. Penulis merasa bahwa di rumah, buku dan hasil tulisan anak serta cucu sangat jarang ditemui.

Saat mengecek cucu sulung yang berusia 8 tahun dan kelas 2 SD, serta cucu kedua yang berusia 7 tahun dan kelas 1 SD, penulis merasa bahwa tulisan mereka tidak sebagus ketika dirinya dulu duduk di bangku SD pada tahun 1970-an. Mengapa demikian? Ternyata, pengaruh gadget sudah sangat besar terhadap kemampuan menulis anak-anak generasi digital saat ini. Tangan mereka lebih sering digunakan untuk mengetik daripada menulis dengan pensil.

Apakah kondisi tulisan tangan yang kurang baik juga memengaruhi karakter seseorang? Jawabannya tentu ya. Karena dengan menulis tangan melalui buku catatan, perasaan halus dan emosi akan tercurah, sehingga karakter akan terbaca lebih jelas. Berbeda dengan ketikan di layar ponsel yang cenderung lebih cepat dan kurang personal.

Menurut psikolog dari sebuah buku yang pernah dibaca oleh penulis, kondisi ini perlu disampaikan kepada anak dan cucu. Menulis dengan tangan dapat membentuk karakter dengan cara-cara berikut:

  • Sebagai alat refleksi diri, membangun karakter fiksi yang mendalam melalui pemahaman psikologi manusia.
  • Melalui ilmu grafologi yang menganalisis tulisan tangan untuk mengungkap aspek kepribadian seperti emosi, pemikiran, dan relasi sosial.

Menulis dengan tangan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan karena dengan menulis, seseorang bisa berekspresi diri. Kondisi sedang bahagia, bahkan sedih, kecewa, atau marah bisa tertuang lewat tulisan dalam sebuah buku harian (diary). Ketika penulis membaca kembali buku itu, maka timbul muhasabah diri untuk memperbaiki diri.

Di zaman sekarang, penulis merasa khawatir dengan perkembangan karakter anak hingga generasi cucu. Apakah begitu juga dengan generasi sebayanya yang kini sudah punya cucu? Penulis berharap agar generasi nenek bisa mulai mengajarkan kembali menulis kepada cucu-cucu mereka. Selain itu, para nenek juga bisa menjadi guru pendamping di rumah, terutama saat orang tua sibuk bekerja.

Dengan begitu, penulis percaya bahwa menulis tetap bisa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, meskipun dunia semakin serba digital. Kunci utamanya adalah tetap menjaga nilai-nilai lama dengan cara yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *