Putusan MK Mengenai Pasal Imunitas Jaksa Akan Dibacakan Pada 16 Oktober
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan terhadap tiga perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Putusan tersebut akan diumumkan pada Kamis, 16 Oktober 2025. Salah satu pasal yang menjadi fokus utama dalam ketiga perkara ini adalah Pasal 8 Ayat (5) yang sering disebut sebagai pasal imunitas jaksa.
Dalam laman resmi MK, tiga perkara tersebut telah terdaftar dengan nomor perkara 67/PUU-XXIII/2025, 15/PUU-XXIII/2025, dan 9/PUU-XXIII/2025. Putusan atas ketiga perkara tersebut akan dibacakan di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Isi dari Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan yang digugat adalah: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin jaksa agung.”
Perkara nomor 67/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh dua orang advokat, yaitu Harmoko dan Juanda. Dalam perbaikan gugatannya, para pemohon menilai bahwa Pasal 8 Ayat (5) tidak memberikan pengecualian bagi jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
Mereka mengatakan bahwa ketiadaan pengecualian ini berpotensi menciptakan perlakuan diskriminatif antar profesi penegak hukum serta menimbulkan kesan adanya impunitas bagi jaksa.
Pemohon juga memberikan contoh bahwa jika seorang jaksa secara nyata tertangkap tangan melakukan tindak pidana, proses hukum terhadap jaksa tersebut tidak bisa segera dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena penangkapan dan penahanan jaksa tetap memerlukan izin dari jaksa agung.
Menurut pemohon, ketentuan ini memberikan hak imunitas absolut kepada jaksa tanpa ada ruang pengecualian, termasuk dalam situasi tertangkap tangan. Hal ini bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum dan prinsip non-diskriminasi yang dijamin dalam UUD 1945.
Karena itu, pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan mereka. Selain itu, MK juga diminta untuk menyatakan bahwa Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai atas hal-hal yang dikecualikan.
Contoh hal-hal yang dikecualikan antara lain adalah jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
Selain itu, pemohon juga memiliki petitum alternatif. Mereka meminta MK menyatakan bahwa Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin jaksa agung dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak permohonan izin diterima.”
Hampir sama dengan perkara nomor 67/PUU-XXIII/2025, perkara nomor 15/PUU-XXIII/2025 dan 9/PUU-XXIII/2025 juga menguji Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan. Pemohon menilai bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, mereka mengajukan gugatan kepada MK.







