Opini: Bangsa Merdeka dan Perjuangan untuk Lingkungan Sehat

Membangun Masa Depan yang Berkelanjutan

Bayangkan Anda dibangunkan oleh Sore: Istri dari Masa Depan, bukan di Kroasia sana, tetapi di Jakarta. Apakah di masa depan nanti langit Jakarta bisa begitu cerah? Apakah di masa depan polusi udara justru hilang atau justru memburuk?

Sore mungkin tak bisa menjawabnya. Tapi kita bisa mulai menyusun jawabannya satu per-satu. Bukan hanya untuk masa depan, tapi untuk dan mulai hari ini.

Delapan puluh tahun setelah Indonesia merdeka, pembangunan ekonomi menjadi fokus utama. Padahal konstitusi bukan sekedar memberikan amanat pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, konstitusi menegaskan: pembangunan ekonomi harus berdasarkan pada prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

UUD 1945 tidak netral soal lingkungan hidup. Ia jelas berpihak pada hak-hak rakyat untuk lingkungan yang sehat. Pasal 28H ayat (1) menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pasal 33 mengikat pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat—serta (ayat 4) dengan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Ini bukan hiasan retorika. Lebih dari itu, ini adalah mandat.

Krisis Iklim yang Semakin Parah

Terminologi “perubahan iklim” sudah tidak lagi tepat. Kita harus menyebutnya sebagai krisis iklim. Terminologi ini membuat dampaknya menjadi lebih komprehensif. Isu iklim bukan lagi konsumsi kelas menengah. Ia justru masuk dan berdampak langsung pada saudara-saudara kita yang miskin dan tidak mampu. Mulai dari pesisir hingga pedesaan. Mulai dari petani hingga nelayan.

Contoh nyata bisa dilihat dari survei yang dilakukan Harian Kompas pada 2022 lalu. Pengeluaran masyarakat miskin di desa untuk membeli beras meningkat drastis akibat anomali iklim. Bahkan, pengeluaran rata-rata untuk membeli beras lebih tinggi daripada pengeluaran masyarakat perkotaan.

Ketika banjir rob melanda Jakarta Utara pada 19 Desember 2024, media ramai memberitakan. Namun, pada tanggal yang sama, warga di pesisir Indramayu juga mengalami banjir rob yang menerjang ribuan orang. Kejadian serupa terjadi di sepanjang wilayah pesisir Indonesia yang terancam krisis iklim.

Jakarta pun menjadi salah satu kota dengan polusi udara yang parah. Indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta bahkan pernah mencapai angka 196, masuk dalam kategori tidak sehat. Dengan polusi PM 2,5 dan nilai konsentrasi 119,5 mikrogram meter kubik, kondisi ini semakin memprihatinkan.

Mandat yang Terlambat Diimplementasikan

Meskipun konstitusi telah memberikan mandat, realitas kebijakan energi masih tertunda. Porsi energi terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer baru sekitar 14% pada 2023, jauh dari target 17,87%. Masih ada jarak antara ambisi dan implementasi.

Pemerintah telah mengubah arah perencanaan dengan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Rencana ini menempatkan EBT sebesar 75% dari total tambahan kapasitas. Namun, rencana hijau ini akan tetap berada di atas kertas jika tidak dijalankan dengan kebijakan yang terukur.

Di sisi internasional, Indonesia memiliki payung Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan rencana investasi dan kebijakan komprehensif. Target utamanya adalah menahan emisi sektor ketenagalistrikan pada 290 juta ton CO₂ pada 2030 dan mendorong setidaknya 34% pembangkitan listrik berasal dari EBT pada 2030. Sayangnya, pendanaan dari JETP masih jauh dari harapan.

Langkah yang Perlu Dilakukan

Di sisi domestik, beberapa kebijakan terkait manufaktur energi terbarukan mulai dilonggarkan. Misalnya, syarat local content (TKDN) untuk PLTS diturunkan menjadi 20% sampai pertengahan 2025 agar proyek bisa segera jalan. Kebijakan ini pragmatis namun lebih masuk akal: lebih baik memasang lebih banyak surya hari ini sambil mengembangkan kapasitas manufaktur esok hari.

Pertanyaan penting: Kenapa semua ini penting dan mendesak? Pertama, karena hak konstitusional warga negara menjadi tidak terpenuhi jika udara tercemar, rumah tangga rentan terhadap banjir dan kekeringan, serta listrik yang kita nikmati mengakumulasi beban emisi generasi depan.

Kedua, Pasal 33 menempatkan SDA untuk kemakmuran rakyat. Ini bukan rute pendek yang menghasilkan kemakmuran hanya untuk segelintir pihak. Memilih rute kemakmuran rakyat berarti menata ulang insentif—mengalihkan dukungan fiskal dari fosil ke energi bersih, memastikan akses dan tarif listrik terjangkau, sekaligus menjamin transisi yang adil bagi pekerja dan daerah penghasil energi fosil.

Merdeka tidak hanya berarti bebas dari penjajahan masa lalu, tetapi juga bebas dari ketergantungan yang berpotensi menjadi beban masa depan. Energi fosil pernah dan masih menjadi andalan. Namun, kini ia menagih biaya kesehatan, iklim, dan fiskal yang kian berat.

Kesimpulan

Dengan segala keberlimpahan potensi energi terbarukan, Indonesia memiliki peluang besar untuk menambah bauran energi terbarukan. Matahari melimpah, angin pesisir, hidro di pegunungan, panas bumi terbaik dunia, serta pasar domestik besar untuk menyerap teknologi.

Yang dibutuhkan adalah kejelasan arah, keberanian memotong rantai kebijakan yang kompleks, dan keberanian eksekusi. Delapan puluh tahun merdeka jadi momentum tepat untuk berhenti menormalisasi polusi dan setengah hati pada EBT.

Semoga suatu hari nanti, Sore membangunkan kita di masa depan dengan langit Jakarta yang cerah dan bebas polusi. Kenalkan, kata Sore, ini Indonesia di masa depan.