Perdana Menteri Prancis Dijatuhkan, Krisis Politik Memuncak
PRANCIS – Pada Senin (8/9/2025), parlemen Prancis melakukan pemungutan suara yang memutuskan untuk menggulingkan Perdana Menteri François Bayrou. Hasilnya, sebanyak 364 anggota parlemen menyatakan ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya, sementara hanya 194 yang mendukung.
Angka ini jauh melampaui ambang batas 280 suara yang diperlukan untuk menjatuhkan pemerintahan. Keputusan ini membawa Prancis ke dalam krisis politik baru, di tengah tekanan ekonomi dan ketegangan geopolitik.
Bayrou, yang baru menjabat selama sembilan bulan, akan mengundurkan diri pada Selasa (9/9/2025). Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah menyatakan bahwa akan segera ditunjuk seorang perdana menteri baru dalam beberapa hari mendatang.
Ini merupakan posisi kelima yang harus diisi oleh Macron dalam waktu kurang dari dua tahun setelah Michel Barnier juga turun lewat mosi tidak percaya pada Desember 2024.
Rencana Penghematan Bayrou Picu Penolakan Parlemen
Krisis dimulai dari rencana anggaran ketat yang diajukan oleh Bayrou. Ia ingin memangkas defisit fiskal yang hampir dua kali lipat dari batas 3 persen Uni Eropa dengan target penghematan sebesar 44 miliar euro atau sekitar Rp843 triliun.
Usulan tersebut mencakup penghapusan dua hari libur nasional, pembekuan belanja pemerintah, serta kenaikan pajak. Namun, usulan ini dinilai terlalu memberatkan warga miskin.
Bayrou berpidato di hadapan Majelis Nasional untuk menjelaskan kondisi keuangan negara. Ia menyatakan bahwa pengeluaran akan terus meningkat dan beban utang yang sudah tak tertahankan akan semakin berat. Meski demikian, mayoritas parlemen menilai kebijakan ini terlalu menyudutkan rakyat kecil.
Koresponden Al Jazeera, Natacha Butler, menilai hasil ini sebagai pukulan telak bagi Bayrou. Ia menyebut bahwa mayoritas besar parlemen menentang rencana penghematannya. Bahkan, sebagian sekutu konservatif Bayrou juga ikut menentang, sehingga mempermalukan eks perdana menteri itu di panggung politik.
Lawan Politik Serang Macron dan Dorong Pemilu Cepat
Gelombang kritik terhadap Macron semakin deras setelah Bayrou dijatuhkan. Jean-Luc Melenchon, pemimpin partai kiri radikal La France Insoumise, menulis di X bahwa Macron sekarang berada di garis depan menghadapi rakyat dan harus pergi.
Meskipun blok kiri memiliki kursi terbanyak di Majelis Nasional, mereka belum mampu membentuk pemerintahan sendiri. Sementara itu, pemimpin sayap kanan, Marine Le Pen, mendesak digelarnya pemilu cepat. Ia menyebut momen ini sebagai akhir dari penderitaan pemerintahan hantu.
Namun, Macron menolak opsi membubarkan parlemen karena khawatir pemilu baru justru memperkuat kubu sayap kanan. Langkah Macron menggelar pemilu kilat pada 2024 setelah Partai Rally Nasional besutan Le Pen tampil dominan di pemilu Parlemen Eropa memicu krisis.
Hasilnya, parlemen pecah menjadi beberapa blok, dengan kubu sentris Macron kehilangan banyak kursi ke tangan kanan dan kiri ekstrem.
Masa Depan Pemerintahan dan Tekanan Ekonomi yang Meningkat
Pengamat politik dari Universitas Nottingham, Hugo Drochon, menyatakan bahwa Macron memiliki pilihan terbatas. Ia bisa memilih perdana menteri dari partai kanan tengah atau merangkul kaum sosialis. Jika memilih sosialis, maka kompromi besar soal anggaran harus dilakukan.
Kekhawatiran pasar keuangan terlihat dari imbal hasil obligasi pemerintah Prancis yang kini menyalip Spanyol, Portugal, hingga Yunani. Tugas pemerintahan baru akan sangat berat, terutama dalam meloloskan anggaran di parlemen yang terbelah.
Sosialis mendorong pajak lebih tinggi untuk orang kaya serta pembalikan kebijakan pemotongan pajak bisnis ala Macron, tuntutan yang berseberangan dengan partai konservatif Les Republicains.
Di sisi lain, ketidakpuasan publik semakin menguat dan memicu aksi protes nasional. Kelompok kiri merencanakan demonstrasi besar pada Rabu (10/9/2025) dengan slogan “Mari kita blokir semuanya,” sementara serikat buruh mengumumkan aksi lanjutan pada 18 September.
Prancis juga harus menghadapi tantangan global, termasuk mengurus perang Ukraina dan menjaga hubungan yang renggang dengan Rusia maupun Amerika Serikat.