Pestapora 2025: Dari Pesta Musik ke Kontroversi
JAKARTA – Pestapora 2025, yang seharusnya menjadi pesta musik terbesar di Jakarta, justru berubah menjadi ajang kontroversi. Ribuan penonton yang hadir di JIExpo Kemayoran pada 5–7 September 2025 awalnya menantikan tampilan ratusan musisi dalam suasana meriah.
Namun, euforia tersebut hanya bertahan singkat. Hari pertama festival langsung diwarnai kericuhan setelah munculnya aksi marching band dari sponsor utama, PT Freeport Indonesia, yang membawa spanduk bertuliskan slogan “tembaga ikutan berpestapora”.
Bagi banyak orang, termasuk musisi yang tampil, kehadiran Freeport di panggung festival musik justru menghadirkan dilema besar. Freeport selama ini identik dengan kontroversi panjang, mulai dari isu lingkungan di Papua, tuduhan kerusakan ekosistem, hingga konflik dengan masyarakat adat.
Sementara itu, Pestapora dikenal sebagai ruang alternatif bagi musisi independen dan generasi muda untuk mengekspresikan kebebasan, kejujuran, serta isu-isu sosial. Kehadiran sponsor yang dianggap bertolak belakang dengan nilai-nilai itu memicu gelombang protes.
Beberapa musisi seperti Petra Sihombing, Navicula, hingga Hindia langsung mengumumkan mundur dari lineup. Mereka menilai kehadiran Freeport sebagai sponsor merupakan langkah yang tidak sejalan dengan prinsip yang selama ini mereka perjuangkan dalam karya dan panggungnya.
Mundurnya musisi-musisi besar ini memicu efek domino, banyak band lain mengikuti, bahkan ada yang memilih tampil secara alternatif di luar panggung resmi sebagai bentuk solidaritas.
Penyelenggara, lewat direktur festival Kiki Ucup, akhirnya memberikan klarifikasi pada hari kedua. Mereka mengakui ada “kelalaian” dalam memutuskan kerjasama dengan Freeport.
Kontrak sponsor kemudian resmi diputus, dan panitia menegaskan tidak ada dana yang diterima dari Freeport untuk pelaksanaan hari kedua dan ketiga. Meski begitu, penjelasan ini tak cukup untuk membalikkan keadaan. Sebagian besar musisi tetap memilih mundur menyatakan bahwa kerusakan citra dan nilai festival sudah terjadi sejak hari pertama.
Menariknya, tidak semua musisi mengambil sikap seragam. Ada yang tetap tampil, tetapi dengan sikap kritis, mereka menyumbangkan honorarium dan hasil penjualan merchandise kepada organisasi lingkungan seperti WALHI sebagai bentuk penolakan simbolik terhadap kehadiran Freeport.
Cara ini dipandang sebagai kompromi, tetap menghargai penonton yang sudah membeli tiket, tetapi juga menjaga integritas terhadap isu sosial dan lingkungan.
Kasus ini akhirnya memperlihatkan betapa sensitifnya hubungan antara dunia seni dengan sponsor korporat. Freeport, yang selama bertahun-tahun mencoba membangun citra positif melalui sponsorship budaya, justru kembali tersandung ketika berhadapan dengan komunitas musik independen yang menolak kompromi dengan perusahaan bersejarah kontroversial.
Lebih jauh, kontroversi ini membuka diskusi publik tentang arah festival musik di Indonesia. Apakah festival seperti Pestapora masih bisa disebut ruang aman jika melibatkan sponsor yang punya rekam jejak problematis? Apakah penyelenggara harus mulai menyusun kode etik atau “blacklist” untuk calon sponsor agar kasus serupa tidak terulang?
Hubungan antara Pestapora dan Freeport kini tercatat sebagai salah satu kontroversi terbesar dalam sejarah festival musik Indonesia. Peristiwa ini menjadi pengingat penting bahwa nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh komunitas musik independen tidak boleh dikompromikan demi keuntungan finansial.
Di tengah dinamika industri musik yang semakin kompleks, penting bagi penyelenggara untuk menjaga keseimbangan antara dukungan sponsor dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar festival tersebut.