Kebingungan Hotel dan Resto Terhadap Pembayaran Royalti Lagu
SURABAYA – Penerapan sistem pembayaran royalti lagu oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LKMN) kini menjadi perdebatan yang cukup hangat.
Hal ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, namun banyak pihak merasa tidak puas dengan cara pelaksanaannya.
Salah satu sektor yang terdampak adalah hotel dan restoran. Mereka mulai menerima tagihan royalti lagu sejak dua tahun terakhir.
Ketua PHRI Jatim, Dwi Cahyono, mengungkapkan bahwa awalnya hanya hotel bintang lima yang mendapat tagihan, tetapi kini hampir semua jenis hotel, termasuk bintang tiga dan empat, juga terkena dampaknya.
“Sekarang hampir 50 persen lebih hotel dan resto terdampak. Restoran tergambar paling besar, kemudian lobby di Family Hotel dan Business Hotel yang punya kafe,” ujarnya.
Sebelum menerima tagihan, hotel dan restoran di Jawa Timur tidak pernah diberikan sosialisasi dari LKMN. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan pengelola tempat tersebut.
“Sampai sekarang belum pernah ketemu terus sosialisasi. Minggu-minggu ini kami undang karena kebingungan masing-masing hotel dan resto,” katanya.
Dwi menjelaskan bahwa proses penagihan royalti lagu tidak transparan. Mulai dari pihak penagih, perhitungan, hingga distribusi masih belum jelas. Ia juga menyampaikan bahwa para penagih tidak sepenuhnya memahami aturan yang berlaku.
“Sebetulnya mereka (penagih royalti lagu) juga kalau saya pernah diskusi itu tidak terlalu paham-paham sekali gitu tentang PP dan Undang-Undang ini,” terang Dwi.
Untuk menghindari pembayaran royalti lagu yang tidak jelas, saat ini banyak hotel dan restoran di Jawa Timur memilih untuk tidak memutar musik selama aturan belum jelas.
“Bukan berarti kita tidak mau bayar lho, kita mau menghargai karya ciptaan bangsa atau luar negeri atau siapapun. Tapi dengan aturan yang benar dan tidak memberatkan,” tegasnya.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan masalah baru. Banyak pelanggan mengeluh karena suasana tempat terasa sepi tanpa adanya musik. Selain itu, hotel dan restoran juga mengalami dampak pada efisiensi anggaran.
Oleh karena itu, PHRI Jatim mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk segera merevisi UU tentang hak cipta agar penerapannya bisa lebih transparan dan adil.
“Kita mendesak bersama-sama, PHRI Indonesia kepada pemerintah untuk merevisi UU dan PP tentang karya hak cipta. Dikaji ulang cara penagihannya sampai distribusinya,” pungkasnya.