Presiden Prabowo Setujui Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bertahap
Presiden Joko Widodo, dalam perannya sebagai pemimpin negara, memberikan persetujuan terhadap rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara bertahap. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah. Hal ini dijelaskan dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Pemerintah menilai bahwa kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan masih cukup terkendali hingga akhir 2025, namun menunjukkan tren penurunan yang perlu dimitigasi. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan rasio klaim pada semester pertama tahun 2025. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah merencanakan penyesuaian iuran.
“Penyesuaian iuran dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah,” tulis dalam dokumen tersebut. Pendekatan bertahap ini dianggap penting untuk meminimalisir gejolak sekaligus menjaga keberlanjutan program jaminan kesehatan nasional.
Selain itu, pemerintah juga mencermati dampak potensial dari penyesuaian iuran terhadap APBN. Ada tiga poin utama yang menjadi perhatian, yaitu:
- Penyesuaian bantuan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
- Peningkatan kontribusi pemerintah untuk peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU)/bukan pekerja (BP) kelas III
- Beban iuran pemerintah sebagai pemberi kerja peserta segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) Penyelenggara Negara
Permasalahan dalam Pengelolaan Peserta BPJS
Dari aspek kepesertaan, terdapat beberapa tantangan yang menjadi perhatian pemerintah. Salah satunya adalah tingginya jumlah peserta nonaktif, khususnya dari kelompok PBPU dan BP yang menunggak iuran. Selain itu, ada peserta segmen PBI dan PPU Badan Usaha yang belum mendaftarkan diri kembali setelah pemberhentian.
Peserta PBI adalah masyarakat miskin yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah sebesar Rp42.000 per orang. Pada 2026 nanti, alokasi APBN untuk 96,8 juta peserta PBI mencapai Rp66,5 triliun.
Sementara itu, segmen PBPU adalah peserta mandiri, seperti pekerja yang tidak menerima upah tetap. Mereka dapat mendaftar di tiga kelas BPJS, yakni kelas I, II, dan III. Iuran BPJS Kesehatan kelas I pada 2025 adalah Rp150.000 per orang per bulan, sedangkan kelas II adalah Rp100.000 per orang per bulan.
Untuk peserta PBPU dan BP kelas III, total iuran adalah Rp42.000 per orang per bulan. Namun, peserta hanya membayar Rp35.000, karena Rp7.000 sisanya disubsidi pemerintah. Pada 2026, pemerintah menyiapkan anggaran subsidi iuran BPJS sebesar Rp2,5 triliun bagi 49,6 juta peserta BPJS Kelas III.
Masalah Lain dalam Pengelolaan Data dan Keuangan
Masalah lain dalam aspek kepesertaan adalah inclusion dan exclusion error data peserta PBI, yang berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian antara penerima manfaat dan kontribusi yang seharusnya dibayarkan.
Selain itu, adanya potensi penurunan kondisi ekonomi, termasuk PHK massal, dapat mengurangi jumlah peserta PPU sehingga berpotensi meningkatkan peserta nonaktif.
Dalam hal efektivitas penerimaan iuran, pemerintah mengidentifikasi beberapa kendala, seperti rendahnya kepatuhan pembayaran iuran dari peserta PBPU dan BP yang memengaruhi cash flow DJS Kesehatan. Selain itu, iuran JKN belum menjadi prioritas dalam proses penganggaran beberapa pemerintah daerah (Pemda), sehingga kolektabilitas iuran di daerah belum optimal.
Dampak inflasi dan perlambatan ekonomi juga mengurangi kemampuan membayar iuran JKN, terutama bagi peserta mandiri dan pekerja informal. Dengan demikian, pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan pengelolaan iuran dan meningkatkan kepatuhan peserta.