Sengketa Lahan di Makassar yang Mengungkap Dugaan Praktik Mafia Tanah
MAKASAR – Sengketa lahan antara mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) dengan PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (GMTD) kini menjadi perhatian publik nasional.
Kasus ini mengungkap dugaan adanya praktik mafia tanah di kawasan strategis Tanjung Bunga, Makassar. Isu ini semakin memanas setelah JK menuding adanya campur tangan dari Lippo Group dalam pengelolaan lahan tersebut.
Perusahaan GMTD sendiri merupakan sebuah kongsi antara pemerintah daerah Sulawesi Selatan dan entitas terafiliasi Lippo Group. Berdasarkan laporan kepemilikan saham publik GMTD, Lippo Group melalui entitasnya, yaitu PT Makassar Permata Sulawesi, memiliki 32,5 persen saham non-publik.
Sementara itu, publik memiliki 35 persen saham, Pemerintah Daerah Gowa 6,5 persen, Pemerintah Kota Makassar 6,5 persen, dan Yayasan Partisipasi Pembangunan Sulsel juga 6,5 persen.
Meskipun Lippo Group bukan pemilik tunggal, kepemilikan 32,5 persen melalui entitasnya menjadikan Lippo sebagai pemegang saham non-publik mayoritas yang memiliki pengaruh signifikan dalam pengelolaan dan kebijakan GMTD. Fakta ini menjadi salah satu titik fokus dalam sengketa lahan ini.
Awal Mula Sengketa
Sengketa ini berpusat pada klaim kepemilikan atas lahan seluas 16,5 hektar di Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar. Lahan tersebut telah lama diklaim oleh Kalla Group (PT Hadji Kalla), yang diakui oleh JK telah dimilikinya sejak tiga dekade lalu. Menurut JK, lahan tersebut dibeli langsung dari ahli waris Raja Gowa.
JK menegaskan bahwa PT Hadji Kalla memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan tersebut yang diterbitkan pada tahun 1996 dan berlaku hingga 2036.
Sengketa muncul ketika GMTD atau pihak yang berafiliasi melakukan klaim, bahkan dugaan eksekusi pengosongan lahan. Klaim ini merujuk pada putusan pengadilan tahun 2000 Nomor 228/Pdt.G/2000/PN Makassar, antara GMTD melawan Manyombalang Dg. Solong, seorang penjual ikan.
JK merasa putusan tersebut rekayasa karena pihak yang dikalahkan (penjual ikan) tidak memiliki kapasitas untuk memiliki tanah seluas itu. Ia juga menilai putusan tersebut tidak mengikat PT Hadji Kalla yang memiliki sertifikat sah. JK menuding kasus ini adalah “permainan Lippo” dan tindakan “perampokan” yang terstruktur, ciri-ciri dari praktik mafia tanah.
Respons dari Lippo Group
Chairman Lippo Group, James Riady, membantah tudingan JK yang mengaitkan Grup Lippo secara langsung sebagai pelaku perampokan lahan. James menegaskan bahwa lahan sengketa tersebut bukan milik Lippo Group secara langsung, melainkan milik GMTD. Ia menekankan bahwa GMTD adalah perusahaan pemda yang di mana Lippo hanya salah satu pemegang saham.
James memilih untuk tidak memberikan komentar mendalam terkait sengketa tersebut, sekaligus mengarahkan tanggung jawab kepada manajemen GMTD sebagai perusahaan terbuka.
Peran Pemerintah
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengambil peran sentral dalam memberikan kejelasan hukum dan administrasi pertanahan terkait sengketa ini.
Nusron membenarkan bahwa di atas lahan tersebut terdapat dua dasar hak yang berbeda: HGB atas nama PT Hadji Kalla yang terbit tahun 1996 dan Hak Pengelolaan (HPL) atas nama GMTD yang berasal dari tahun 1990-an.
Secara tegas, Nusron menyebut bahwa lahan yang disengketakan adalah sah milik Jusuf Kalla berdasarkan data dan proses administrasi pertanahan yang dimiliki BPN. Ia juga menjelaskan bahwa kasus ini merupakan “produk tahun 1990-an” yang muncul ke permukaan karena sistem pertanahan saat ini sedang dibenahi menjadi lebih jujur dan transparan.
Langkah Pemerintah dalam Penanganan Sengketa
Kementerian ATR/BPN menekankan bahwa putusan pengadilan tahun 2000 hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara, sehingga tidak otomatis berlaku terhadap PT Hadji Kalla. BPN juga belum melaksanakan pengukuran resmi (konstatering) di lapangan, yang berarti dugaan eksekusi yang dilakukan oleh pihak GMTD tidak memenuhi syarat hukum yang sah.
Untuk mencegah error in objecto (kesalahan objek) yang sering dimanfaatkan mafia tanah, Kantor Pertanahan Kota Makassar telah mengambil langkah proaktif. Kantor Pertanahan mengirim surat resmi kepada Pengadilan Negeri Makassar untuk meminta klarifikasi dan koordinasi teknis.
Nusron menegaskan bahwa tujuan utama adalah memastikan semua transparansi agar tidak ada lagi tumpang tindih, sertifikat ganda, dan overlapping di masa depan.








