Paradigma Negara Pembangunan dalam Kebijakan Ekonomi Prabowo Subianto
JAKARTA – Institut untuk Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF) menilai bahwa arah kebijakan ekonomi yang diambil oleh Presiden Prabowo Subianto mencerminkan konsep negara pembangunan atau developmental state.
Konsep ini menempatkan pemerintah sebagai aktor utama yang mengarahkan jalannya perekonomian, mirip dengan strategi industrialisasi yang pernah diterapkan oleh negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Tiongkok.
Dalam sebuah diskusi publik, Fadhil menyampaikan bahwa peran pemerintah dalam mempengaruhi atau menentukan arah perekonomian sangat besar. Ia menjelaskan bahwa hal ini serupa dengan strategi yang diterapkan pada awal proses industrialisasi di berbagai negara.
Contohnya, Jepang dan Korea Selatan memiliki pola pengembangan ekonomi yang didominasi oleh peran pemerintah dalam memandu arah pembangunan.
Menurut Fadhil, paradigma ini menekankan pentingnya peran negara dalam mengarahkan investasi, memanfaatkan anggaran sebagai katalis untuk pembangunan industri strategis, serta memperkuat peran BUMN sebagai instrumen investasi.
Dengan demikian, pemerintah tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga aktor langsung dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Meski defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 diproyeksikan menurun dari 2,78% menjadi 2,48% terhadap PDB, kebijakan fiskal tetap bersifat ekspansif. Hal ini menunjukkan adanya strategi jangka menengah dan panjang, bukan sekadar respons darurat.
Fadhil menambahkan bahwa target penerimaan pajak yang tinggi dibandingkan dengan historisnya menunjukkan komitmen pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa ada implikasi politik-ekonomi dari paradigma ini. Kebijakan yang cenderung proteksionistis dapat menimbulkan ketegangan dengan pelaku usaha maupun investor asing. Biasanya, investor asing lebih suka lingkungan bisnis yang terbuka dan tidak terlalu diatur oleh regulasi protektif.
Fadhil menegaskan bahwa fenomena serupa juga terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Meskipun begitu, ia menyoroti bahwa jika kebijakan proteksionistik ini berlaku secara luas, maka akan berdampak pada kemampuan Indonesia dalam menarik investasi asing. Karena adanya kesenjangan antara tabungan dan investasi, Indonesia masih membutuhkan modal dari luar negeri.
Selain itu, Fadhil menekankan bahwa keberhasilan paradigma developmental state sangat bergantung pada birokrasi yang efisien dan responsif. Ia mengatakan bahwa saat ini, birokrasi di Indonesia masih kurang responsif dan efisien. Terlebih lagi, program-program yang dijalankan oleh Presiden Prabowo memiliki skala yang sangat besar dan memerlukan biaya yang signifikan.
Dengan demikian, meskipun paradigma ini memiliki potensi besar dalam memacu pertumbuhan ekonomi, keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya, menjaga stabilitas ekonomi, dan memastikan keterlibatan aktif masyarakat serta pelaku usaha.