Polemik Sanksi Etik yang Belum Dijalankan di Polres Metro
JAKARTA – Polemik terkait pelanggaran etik di tubuh Polri kembali menjadi perhatian publik. Tiga anggota Polres Metro, yaitu Kasat Reskrim AKP Hendra Safuan, Kanit PPA Satreskrim Iptu Astri Liyana, dan penyidik pembantu Unit PPA Aipda Defitra, dinyatakan bersalah dalam sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Namun hingga saat ini, ketiganya belum menjalani sanksi yang telah ditetapkan.
Sidang KEPP yang digelar oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Lampung pada 29 Agustus 2025 menunjukkan bahwa ketiganya terbukti melanggar Kode Etik Profesi Polri. Mereka dijatuhi hukuman demosi atau penurunan jabatan selama satu tahun. Meskipun putusan tersebut sudah berlaku, hingga pertengahan Oktober 2025, ketiganya masih aktif di posisi semula tanpa adanya tindakan lebih lanjut.
Kondisi ini memicu banyak pertanyaan dari masyarakat maupun pemerhati hukum. Banyak pihak merasa khawatir dengan komitmen Polda Lampung dalam menjaga integritas internal institusi kepolisian. Keterlambatan pelaksanaan sanksi etik tidak hanya dianggap sebagai masalah administrasi, tetapi juga bisa mengurangi kepercayaan publik terhadap Polri.
Pelapor kasus, Muhammad Gustryan dari Ryan Gumay Law Firm, mengatakan bahwa ia sudah beberapa kali meminta kejelasan kepada Polda Lampung tentang tindak lanjut pelaksanaan sanksi. Namun, informasi yang diterima justru saling bertolak belakang antarbagian internal.
“Biro SDM bilang belum menerima surat keputusan dari Wabprof, sementara Wabprof mengaku sudah mengirimkan surat. Jadi mana yang benar? Ini bukan hal kecil, tapi menunjukkan lemahnya koordinasi di tubuh Polda Lampung,” ujar Gustryan.
Menurutnya, putusan etik bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, keterlambatan pelaksanaan putusan bisa dianggap sebagai pengabaian terhadap proses penegakan hukum di internal kepolisian.
“Kalau sidang etik yang sudah inkracht saja tidak dijalankan, bagaimana masyarakat bisa percaya kalau Polri benar-benar serius menegakkan keadilan?” tambahnya.
Gustryan menekankan bahwa pelanggaran etik di tubuh kepolisian tidak boleh dianggap enteng. Sebab, Polri adalah institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam menjalankan aturan.
“Jika pelanggar etik dibiarkan menjabat, itu artinya institusi memberi ruang bagi ketidakdisiplinan. Ini sangat berbahaya, karena akan menjadi preseden buruk dan bisa menular ke jajaran bawah,” katanya.
Ia menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga ada kepastian hukum yang jelas. Bahkan, ia berencana mengirimkan surat resmi kepada Kapolri dan Irwasum Polri untuk meminta perhatian langsung terhadap lambannya eksekusi sanksi.
“Kalau Polri ingin menjaga marwah dan kepercayaannya di mata publik, tidak ada alasan untuk menunda pelaksanaan putusan etik. Jangan sampai muncul kesan bahwa ada pihak yang kebal hukum hanya karena menduduki jabatan tertentu,” ujarnya.
Kasus ini bermula dari laporan ke Bid Propam Polda Lampung terkait dugaan pelanggaran prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam penanganan kasus dugaan pencabulan. Laporan dibuat oleh kuasa hukum tersangka, Ryan Gumay Law Firm, dan tercatat dalam Tanda Terima Pengaduan Propam Nomor SPSP2/55/V/2025/Subbagyanduan dan SPSP2/56/V/2025/Subbagyanduan, tanggal 20 Mei 2025.
Dalam laporan tersebut, ketiga anggota disebut melakukan sejumlah pelanggaran serius, seperti penetapan tersangka kurang dari 24 jam setelah laporan dibuat, tidak memberikan hak pendampingan hukum, serta dugaan tidak memiliki sertifikasi penyidik sesuai Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2024.
Selain itu, salah satu dari mereka diduga melakukan penangkapan dan intimidasi terhadap tersangka berinisial AF sebelum laporan resmi dibuat. Tindakan ini dinilai melampaui kewenangan dan tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Kasus ini kemudian berlanjut ke jalur praperadilan dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2025/PN Metro. Dalam sidang praperadilan, hakim Pengadilan Negeri Metro menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap AF, yaitu Ketua PGRI Kota Metro Adi Firmansyah, adalah tidak sah dan cacat hukum.
Hakim menilai bahwa proses penyidikan melanggar prinsip due process of law dan fair trial. Penahanan dilakukan sebelum laporan dibuat, dan dokumen seperti SPDP dan BAP baru disusun setelah penahanan berlangsung.
“Jam 9 malam Pak Adi sudah ditahan, tapi laporan baru dibuat jam 23.08. Dokumen seperti SPDP dan BAP baru dibuat menyusul untuk melegalkan penangkapan yang sudah dilakukan,” kata Gustryan.
Dalam amar putusannya, hakim menegaskan bahwa tindakan penyidik bertentangan dengan KUHAP dan UUD 1945, serta memerintahkan agar Adi Firmansyah segera dibebaskan. Seluruh biaya perkara juga dibebankan kepada pihak termohon.
Dengan adanya putusan praperadilan dan sidang etik, publik kini menantikan langkah tegas Polda Lampung dalam menegakkan keputusan tersebut. Sebab, jika sanksi etik tidak segera dijalankan, dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap Polri, khususnya di tingkat daerah, akan semakin menurun.











