JAKARTA – Setelah ditahan selama 9 bulan, Tom Lembong akhirnya bebas setelah pemerintah memberikan penghapusan hukuman (abolisi). Dalam proses ini, Tom merasa dikriminalisasi dan kini melaporkan hakim serta auditor BPKP untuk mengungkap siapa yang menjadi dalang di balik kasusnya.
Pada hari Kamis malam, 31 Juli, panggilan telepon dari Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra, menyampaikan niat Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong. Menurut kuasa hukum Tom, Ari Yusuf Amir, tidak ada syarat apa pun dalam pemberian abolisi tersebut.
Kabar ini diterima oleh Ari hampir dua minggu setelah Tom dihukum 4,5 tahun penjara pada 18 Juli. Berbeda dengan kasus amnesti Hasto Kristiyanto, yang sudah diinformasikan sebelumnya, kasus Tom terjadi secara mendadak tanpa persiapan.
Tom dinilai terlibat dalam kasus korupsi impor gula saat menjabat Menteri Perdagangan. Ia dituduh memberikan izin impor kepada perusahaan swasta, bukan kepada PT PPI yang merupakan anggota holding BUMN Pangan. Vonis ini memicu kritik publik karena tidak ada niat jahat atau unsur memperkaya diri pada Tom.
Setelah menerima kabar dari Dasco, Ari membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk memahami maksud abolisi. Setelah berdiskusi dengan tim hukumnya, mereka memutuskan bahwa abolisi adalah langkah positif karena semua proses hukum Tom akan dihapus.
Istri Tom, Franciska Wihardja, sempat menangis haru ketika mendengar kabar ini. Ia merasa penahanan Tom selama 9 bulan merupakan penderitaan bagi keluarganya. Menurut cerita Tom, ia awalnya mengira kabar kebebasannya hanya mimpi.
Dalam acara YouTube Anies Baswedan, Tom pertama kali mendengar tentang abolisi dari tahanan lain. Namun ia sempat salah mengira abolisi sebagai gerakan abolisionisme atau penghapusan perbudakan di Amerika Serikat dan Eropa abad ke-18.
Setelah petugas lapas menjelaskan, Tom memahami maksud abolisi yang diberikan Prabowo. Kemenkum menjelaskan bahwa abolisi merupakan hak konstitusional presiden untuk menghapus tuntutan pidana atau menghentikan proses hukum yang sedang berjalan, dengan mempertimbangkan pendapat DPR.
Pengumuman abolisi Tom berbarengan dengan amnesti Hasto dan 1.177 orang terpidana lain. Mayoritas dari kasus narkotika, makar, dan pelanggaran UU ITE. Di antara ribuan terpidana yang mendapat amnesti, terdapat nama Yulian ‘Ongen’ Paonganan dan Sugi Nur Raharja alias Gus Nur. Keduanya terjerat kasus pencemaran nama baik Joko Widodo (Jokowi) saat masih menjabat presiden.
Meski demikian, Menkum Supratman menampik pemberian abolisi dan amnesti sebagai cara Prabowo untuk lepas dari warisan politik masa lalu. Ia menegaskan pemberian amnesti dan abolisi sebagai wujud Prabowo untuk menciptakan perdamaian antaranak bangsa di semua lapisan.
Pelaporan Hakim dan Auditor BPKP
Setelah menerima Keppres abolisi Nomor 18 Tahun 2025 pada Jumat (1/8) malam, Kejaksaan Agung langsung membebaskan Tom dari Rutan Cipinang. Barang-barang pribadi Tom seperti laptop yang disita dikembalikan pada Senin (4/8) kepada tim pengacara disertai berita acara dan dokumentasi resmi.
Sembilan bulan berada di balik jeruji besi, Tom mengaku tak memiliki perasaan dizalimi ataupun dendam pribadi. “Semua ini adalah rencana Tuhan, dan rencana Tuhan selalu sempurna,” katanya.
Walau begitu, bagi Tom, kebebasan itu bukan berarti langkahnya berhenti. Ia memilih melakukan evaluasi atas proses hukum yang dialaminya. Tom melaporkan majelis hakim yang menangani kasusnya ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) atas dugaan pelanggaran kode etik hakim dan profesionalisme.
Selain itu, tim pengacara Tom juga melaporkan auditor BPKP ke Ombudsman maupun BPKP. Peran auditor BPKP begitu krusial di kasus Tom. Sebab dari hasil audit itulah, jaksa Kejagung mendakwa Tom telah merugikan keuangan negara.
Audit BPKP sempat mengubah jumlah kerugian negara dari Rp 400 miliar menjadi Rp 578 miliar. Namun menurut Ari, audit BPKP belum dilakukan pada saat itu. Sedangkan Tom menyebut hasil audit BPKP baru diserahkan ke majelis hakim setelah 13 kali sidang bergulir.
Investigasi Dalang Kriminalisasi Tom Lembong
Selama 9 bulan ditahan hingga kini bebas, kasus Tom Lembong tak pernah benar-benar jelas. Sumber Mantiq Media yang mengikuti perkara ini berujar, sumirnya unsur pidana di perkara Tom disebut-sebut sempat membuat internal Kejaksaan Agung (Kejagung) terbelah saat proses penyidikan, antara menyetop atau melanjutkan perkaranya.
Namun Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, membantah kabar itu. “Tidak benar [internal Kejagung terbelah]. Semua penanganan perkara dilakukan secara profesional dan melalui mekanisme ekpose atau gelar perkara,” jelas Anang.
Sumirnya konstruksi hukum kasus Tom itu juga sempat disuarakan Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, saat awal proses penyidikan oleh Kejagung pada November 2024. Ketika itu, politikus Gerindra tersebut meminta Kejagung menjelaskan secara gamblang ke publik. Sebab jika tidak, kasus Tom bisa memunculkan tuduhan bahwa pemerintahan Prabowo menggunakan hukum sebagai alat politik.
Pernyataan Habiburokhman itu yang semakin meyakinkan Tom bahwa kasusnya berbau kriminalisasi dan politisasi. Ia memasukkannya dalam nota pembelaan atau pleidoi di sidang pada 9 Juli. Pleidoi Tom juga menyinggung sikap 8 fraksi di Komisi III yang khawatir dan tidak setuju dengan pendekatan jaksa dalam kasusnya.
Evaluasi Proses Hukum Era Jokowi
Selain Tom dan Hasto, terdapat Ongen dan Gus Nur yang mendapat amnesti dari Prabowo. Ongen dipidana terkait kasus UU ITE karena menghina kepala negara (Jokowi), sementara Gus Nur dipidana lantaran kasus tuduhan ijazah Jokowi palsu. Jika ditilik, keempatnya memiliki kelindan relasi politik yang berseberangan dengan Jokowi.
Feri Amsari menilai keputusan abolisi dan amnesti ini adalah pernyataan tersirat bahwa peradilan Tom dkk di era sebelumnya adalah political trial—peradilan politik yang lahir dari kriminalisasi.
“Ada titik tertentu Presiden Prabowo bisa dikatakan punya cara pandang berbeda [dengan era Jokowi], tidak boleh orang kemudian dipidanakan karena hal-hal yang tidak benar. Itu sangat baik ya untuk kemudian membangun citra Pak Prabowo,” kata Feri kepada Mantiq Media.
Pengamat politik Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai keputusan Prabowo memberikan abolisi dan amnesti sebagai upaya koreksi, evaluasi, sekaligus kritik terhadap proses hukum di era Jokowi.
“Pak Prabowo ingin memberikan pembelajaran bahwa jangan ketika mentang-mentang Anda berkuasa…kemudian menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, sebagai [alat] politik,” terang Pangi.