Perjalanan Menuju Gunung Fuji
JAKARTA – Bus kami meninggalkan Shinjuku perlahan, melewati gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya pagi. Di depan bank SMBC tempat kami berkumpul tadi, lalu lintas sudah padat. Orang-orang berjalan cepat di trotoar, seperti arus air yang mencari arah masing-masing. Tokyo, sebagai pusat ekonomi Jepang, memang selalu bergerak.
Saya duduk di kursi dekat jendela. Lalu lintas di pusat kota tampak ramai, namun tetap lancar. Di layar ponsel, garis merah panjang muncul di peta tol menuju Gunung Fuji. Kyo — pemandu wisata kami — mulai berbicara dengan suara lembut melalui mikrofon. Ia menjelaskan bahwa perjalanan hari ini akan lebih lama daripada biasanya.
“Kalau hari biasa sekitar dua jam,” katanya, “hari ini bisa tiga sampai tiga setengah jam.”
Penyebabnya, Jepang sedang merayakan Obon, salah satu festival paling penting dalam budaya mereka — masa ketika para leluhur diyakini pulang mengunjungi keluarga yang masih hidup. Di rumah-rumah, lentera dinyalakan untuk menuntun arwah pulang. Di kuil-kuil, biksu membaca doa. Di jalan-jalan, orang-orang mudik ke kampung halaman, membawa bunga dan persembahan.
Meski bukan hari libur nasional, banyak karyawan mengambil cuti. Tak heran bila jalan raya menjadi lautan kendaraan yang merayap sabar menuju berbagai arah — sebagian ke rumah, sebagian mungkin ke masa lalu.
Kendaraan kami memasuki jalan bebas hambatan E20. Saya menatap keluar jendela. Barisan mobil berjalan perlahan, tapi semuanya rapi. Tak ada yang menyalip lewat kiri, tak ada yang menyerobot jalur darurat. Garis putih di tepi jalan bersih seakan tak pernah tersentuh roda mobil. Dalam kemacetan panjang itu, tak ada bunyi klakson. Semua bergerak pelan, seolah setiap orang tahu: giliran mereka akan datang juga.
Ini yang membedakan kemacetan di Jepang dengan di rumah — di sini, diam pun punya tata krama.
Sambil menggulir peta di ponsel dan melihat perkiraan waktu tiba di Gunung Fuji, saya kembali teringat ucapan Kyo tadi: Obon bukan sekadar tradisi, tapi bentuk penghormatan terhadap yang telah mendahului kita.
Saya teringat pada sebuah museum di Wellington yang pernah saya kunjungi, berisi pameran tentang kematian dari berbagai budaya. Salah satu yang paling menarik membahas “Da de los Muertos” dari Meksiko — hari di mana arwah dirayakan dengan warna dan musik. Di Hong Kong, ada Hungry Ghost Festival. Di Indonesia, umat Tionghoa mengenalnya sebagai Cioko. Setiap bangsa, dengan caranya masing-masing, selalu punya cara untuk mengenang dan memanggil yang telah pergi.
Dan saya berpikir, di manapun manusia berada, selalu ada upaya untuk mengingat — dan menunggu. Entah arwah leluhur, entah masa lalu yang tak ingin benar-benar hilang.
Perjalanan keluar kota berjalan lambat tapi tenang. Gedung-gedung menjauh, berganti rumah kayu beratap hitam, toko ramen kecil, dan deretan pohon hijau yang meneduhkan. Tokyo hilang perlahan di cermin belakang.
Di kejauhan, gunung-gunung mulai tampak samar. Udara terasa berbeda — lebih kering, lebih jernih. Di langit biru pucat, awan bergulung malas. Sekitar dua jam kemudian, bus berhenti di rest area Ecpasa. Sopir memberi waktu istirahat dua puluh menit.
Saya turun, menjejak aspal yang bersih dan teratur. Di sisi kiri parkiran, tanda biru bertuliskan Disability Parking Only tampak baru dicat. Tak ada mobil yang parkir sembarangan. Bahkan istirahat di sini terasa tertib.
Di dalam gedung, aroma kopi bercampur roti panggang. Mesin penjual otomatis berderet rapi, menjual teh hijau, kopi, dan jus buah. Di dinding, tergantung peta besar dengan lampu kecil penanda rute tol. Orang-orang berjalan tanpa suara keras; anak-anak menunduk sopan saat lewat di depan orang dewasa.
Saya membeli kopi panas dan sepotong roti, lalu duduk di luar menghadap pepohonan. Angin berhembus lembut, membawa suara kendaraan dari kejauhan. Musim panas Jepang terasa penuh cahaya — panasnya menempel di kulit, tapi tetap ramah, seolah udara pegunungan tahu cara menenangkan.
Bus kembali berjalan. Keluar dari tol, jalan mulai menanjak. Di kanan jalan, papan besar bertuliskan Fuji-Q Highland tampak di antara pepohonan. Dari dalam bus terdengar samar jeritan para pengunjung roller coaster yang meluncur di lintasan baja, lalu hening lagi begitu bus berbelok.
Langit berubah. Awan turun, udara menjadi lebih sejuk. Pepohonan bertambah rapat, dan jalan berliku membawa kami semakin tinggi.
Kyo menjelaskan bahwa kami hampir tiba di Fuji 5th Station, titik pemberhentian di ketinggian sekitar 2.300 meter di lereng Gunung Fuji. Dari sana, sebagian orang akan mendaki hingga puncak; sebagian lagi, seperti kami, hanya ingin menikmati suasana dan pemandangan.
Perjalanan menjadi sunyi. Hanya terdengar suara mesin bus dan deru angin dari luar.
Begitu tiba di area parkir Fuji 5th Station, udara sejuk langsung menyeruak. Napas berubah jadi kabut tipis. Suhu turun tajam meski matahari masih bersinar pucat.
Sebuah bangunan berlantai dua dengan warna cokelat muda bertuliskan “Mount Fuji Miharashi” tampak hangat menyambut. Di sini, para wisatawan bisa berbelanja makanan dan suvenir, atau sekadar menikmati secangkir kopi.
Di depannya, berdiri patung perunggu pendaki, replika es krim raksasa, dan tongkat-tongkat dengan bendera Jepang. Di sisi lain, hiasan suvenir bergambar jagung dan replika kotak pos merah menyala memberi warna ceria di tengah kabut gunung.
Kami masuk ke dalam gedung, membeli oleh-oleh kecil. Setelah itu berjalan keluar menuju torii — gerbang merah khas Jepang — yang berdiri di tengah kabut tipis. Saya berhenti sebentar memandangi bentuknya. Cat merahnya mulai pudar, tapi justru di situlah keindahannya: waktu dibiarkan bicara tanpa ditutup-tutupi.
Tak jauh dari situ, papan besar bertuliskan “Mt. Fuji 5th Station — Altitude 2305 m.” Orang-orang antre berfoto di depannya. Sepasang turis India menawarkan bantuan memotret kami. Di belakang papan itu, langit setengah tertutup kabut, puncak gunung sama sekali tak terlihat. Tapi justru di situlah ketenangan. Fuji tidak menampakkan diri setiap waktu — kadang ia memilih diam, seperti dewa yang hanya bicara lewat awan.
Saya membeli secangkir kopi dari vending machine di pinggir jalan dan duduk di bangku kayu menghadap lembah. Di bawah sana, awan bergerak pelan, menutup dan membuka pemandangan seperti tirai.
Kyo lewat sambil tersenyum, menunjuk papan doa yang tergantung di kuil kecil di samping toko. Di situ orang-orang menulis harapan di atas papan kayu kecil — sebagian berharap bisa mendaki sampai puncak, sebagian hanya menulis, “semoga sehat.”
Saya menatap papan-papan itu lama. Di balik udara gunung yang dingin, manusia selalu mencari cara untuk menitipkan doa — bahkan jika hanya lewat sepotong kayu dan paku kecil di dinding kuil.
Saya kembali ke toko suvenir. Gantungan kunci berbentuk Fuji, kartu pos, lonceng kecil, dan kertas doa tersusun rapi. Di salah satu etalase, terdapat miniatur torii merah berukuran genggam dengan tulisan tangan halus di sisinya. Saya membeli satu. Entah untuk siapa, mungkin hanya untuk mengingat bahwa saya pernah sampai di sini.
Penjualnya seorang perempuan setengah baya dengan rambut perak disanggul rapi. Ia membungkuk dalam-dalam setelah menerima uang saya, lalu menatap dengan senyum kecil yang tulus. Gerakan sederhana itu terasa seperti bagian dari doa yang tak diucapkan.
Udara semakin dingin. Saya kembali duduk di bangku kayu, menyeruput kopi terakhir yang mulai dingin. Kabut turun lagi, menutup seluruh pemandangan. Beberapa pendaki tampak bersiap naik lebih tinggi, membawa tongkat dengan ukiran nama mereka.
Saya memperhatikan mereka lama. Ada keteguhan dalam langkah-langkah itu — bukan sekadar semangat petualangan, tapi juga kesadaran bahwa mendaki gunung berarti mendaki diri sendiri. Dan saya, di bangku ini, cukup puas hanya dengan melihat. Karena tidak semua perjalanan harus sampai puncak untuk disebut tiba.
Sekitar satu jam kemudian, bus kembali bersiap. Di sebelah kanan area parkir, terlihat halte kecil bertuliskan Kawaguchiko Line — tujuan kami berikutnya, menuju danau yang terkenal karena pada hari cerah memantulkan bayangan Gunung Fuji di permukaannya.
Saya menoleh ke arah gunung yang kini sepenuhnya tertutup kabut. Di kejauhan, torii merah itu tampak kian kecil, tapi justru membuat tempat ini terasa megah. Ada sesuatu yang menenangkan dari cara Jepang memperlakukan ruang dan waktu: mereka tidak tergesa menghapus yang lama, tapi juga tidak takut menerima yang baru.
Saat bus mulai bergerak turun, saya memandangi kabut yang tertinggal di belakang. Dalam diam, saya kembali teringat kata-kata Kyo pagi tadi:
“Obon adalah waktu untuk menyalakan lentera bagi yang telah pergi — dan bagi diri sendiri yang masih mencari jalan pulang.”
Mungkin benar. Semua perjalanan pada akhirnya adalah pulang — entah ke rumah, ke masa lalu, atau ke dalam diri yang ingin mengerti mengapa kita terus berjalan.
Gunung Fuji pun perlahan menghilang di balik kaca jendela, tapi rasanya ia tetap ada di sana: diam, sabar, dan abadi — seperti doa yang tak pernah selesai diucapkan, bahkan ketika perjalanan telah usai.











