Wamendagri Negasi Kenaikan PBB Akibat Efisiensi Anggaran

Penjelasan Wamendagri Mengenai Kenaikan PBB-P2

JAKARTA – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, memberikan penjelasan terkait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di berbagai daerah. Ia menegaskan bahwa kenaikan tersebut bukanlah akibat dari kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah pusat.

Menurut data yang ada, terdapat 104 daerah yang mengalami kenaikan pajak ini, dengan 20 di antaranya mencatatkan kenaikan di atas 100 persen. Namun, hanya tiga daerah yang menaikkan PBB pada tahun 2025, sementara sisanya sudah dilakukan sejak sebelumnya.

Bima menjelaskan bahwa kenaikan PBB-P2 tidak dapat dikaitkan dengan kebijakan efisiensi pemerintah pusat yang dimulai awal 2025. Sebaliknya, hal ini merupakan bagian dari proses yang berlangsung di tingkat daerah.

Ia menekankan bahwa kebijakan ini harus dipahami sebagai hasil dari upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan daerah.

Kesalahan dalam Sosialisasi dan Pengukuran Kemampuan Masyarakat

Bima juga menanggapi protes masyarakat terhadap kenaikan PBB-P2 yang memicu demonstrasi besar-besaran. Menurutnya, masalah utama terletak pada minimnya sosialisasi dan kurang cermatnya pemerintah daerah dalam mengukur kemampuan masyarakat.

Ia menyatakan bahwa terdapat ketidakakuratan dalam membaca kemampuan ekonomi masyarakat, sehingga memicu dinamika di beberapa daerah.

Ia menyarankan agar pemerintah daerah lebih teliti dalam merancang kebijakan pajak dan melakukan sosialisasi yang cukup kepada masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak menimbulkan ketidakpuasan atau protes yang berlebihan.

Peran Menteri Dalam Negeri dalam Menghadapi Kenaikan PBB-P2

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, juga memberikan pernyataan mengenai polemik kenaikan PBB-P2. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak bisa langsung membatalkan kebijakan tersebut karena kebijakan ini menjadi wewenang kepala daerah setempat.

Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) serta Peraturan Pemerintah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tito mengatakan bahwa ia tidak memiliki kewenangan untuk langsung membatalkan kebijakan tersebut. Namun, ia tetap dapat melakukan intervensi sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, ia berharap pemerintah daerah dapat bekerja sama dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi masalah ini.

Imbauan untuk Meninjau Kembali Kebijakan PBB-P2

Tito, selaku pembina dan pengawas pemerintahan daerah, mengimbau pemerintah daerah untuk meninjau kembali kebijakan yang dibuat. Terutama terkait kenaikan PBB-P2 yang telah memicu aksi protes masyarakat luas.

Menurutnya, jika kebijakan kepala daerah menimbulkan gejolak sosial, maka lebih baik dibatalkan atau ditunda.

Ia menekankan bahwa kebijakan yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Jika situasi tidak mendukung, maka sebaiknya kebijakan tersebut tidak dilaksanakan hingga kondisi lebih stabil.

Contoh Daerah yang Mengalami Protes

Beberapa daerah telah menaikkan PBB-P2 yang memicu protes keras dari masyarakat. Daerah-daerah seperti Pati, Cirebon, Jombang, Semarang, dan Bone menjadi contoh dari kebijakan yang menuai reaksi negatif.

Demo besar terjadi di dua daerah, yaitu Pati dan Bone. Di Pati, demo berujung pada upaya pemakzulan Bupati Pati, Sadewo. Sementara itu, demo di Bone berakhir ricuh.

Masyarakat di kedua daerah tersebut secara bersama-sama menggeruduk kantor bupati masing-masing. Mereka menyampaikan protes terhadap kebijakan menaikan PBB tanpa melibatkan masukan dari masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan pajak harus diiringi dengan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *