Trump Tunggu Pengumuman Nobel Perdamaian 2025
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, saat ini sedang menantikan pengumuman pemenang Nobel Perdamaian tahun 2025 yang akan diumumkan pada Jumat (10/10/2025). Ini adalah momen penting bagi mantan presiden tersebut, yang sejak 2018 mulai menyuarakan keinginannya untuk menerima penghargaan bergengsi ini. Awalnya, pernyataan itu hanya dianggap sebagai candaan, namun seiring berjalannya waktu, sikapnya semakin serius.
Pada tahun ini, setelah bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump menyatakan bahwa dirinya layak mendapatkan penghargaan tersebut. Ia mengatakan, “Saya pantas mendapatkannya, tapi mereka tidak akan pernah memberikannya kepada saya.” Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara dengan The Independent, Kamis (9/10/2025).
Sebelumnya, pada Juni lalu, Trump bahkan menyebut bahwa ia seharusnya telah memperoleh Nobel empat atau lima kali. Meski survei publik menunjukkan keraguan terhadap peluangnya, Trump tetap masuk dalam daftar kandidat. Sesuai aturan Alfred Nobel, penghargaan ini diberikan kepada sosok yang dinilai berjasa besar dalam mempererat persaudaraan antar negara, mengurangi angkatan bersenjata, serta mendorong perdamaian.
Kandidat dan Dukungan
Perusahaan taruhan FanDuel menempatkan Trump di belakang kandidat terfavorit, seperti Yulia Navalnaya, istri dari tokoh oposisi Rusia Alexei Navalny, serta organisasi kemanusiaan Sudan’s Emergency Response Rooms. Namun, Trump juga mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, termasuk Netanyahu, pemerintah Pakistan, pemerintah Kamboja, dan politisi AS Buddy Carter.
Namun, ada pihak yang menarik dukungan, termasuk seorang politisi senior Ukraina yang sempat mengusulkan namanya. Ia menuding Trump terlalu lunak terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin.
Peluang Menang
Komite Nobel yang terdiri dari lima orang dikenal kritis terhadap Trump. Namun, keputusan pemenang sering dipengaruhi oleh pertimbangan simbolis maupun geopolitik, bukan hanya hasil nyata. Profesor Matthew Mokhefi-Ashton dari Nottingham Trent University mengatakan bahwa Nobel Perdamaian sering diberikan secara aspiratif, seperti saat diberikan kepada Barack Obama pada 2009 meskipun belum genap setahun menjabat.
Kasus serupa juga terjadi pada Henry Kissinger pada 1973, yang kontroversial karena dituduh melakukan kejahatan perang meskipun dianggap berhasil mengakhiri Perang Vietnam. Mokhefi-Ashton menilai bahwa peluang Trump tetap terbuka, terutama karena fokusnya pada warisan politiknya.
Kontroversi dan Tantangan
Forum Keluarga Sandera dan Hilang asal Israel bahkan mendesak Nobel diberikan kepada Trump karena dianggap memberi harapan di masa sulit. Namun, sejumlah pengamat meragukan peluangnya. Theo Zenou, peneliti di Henry Jackson Society, mengatakan bahwa sikap Trump yang terlalu vokal menginginkan Nobel justru kontraproduktif. Komite Nobel tidak suka terlihat tunduk pada tekanan, dan biasanya memilih sosok dengan karya yang berbicara sendiri.
Zenou juga menyebut bahwa Trump sering mengklaim telah mengakhiri tujuh perang, sebuah pernyataan yang sering diulang tetapi diragukan oleh para pengkritiknya. Bulan lalu, Departemen Luar Negeri AS merilis daftar tujuh konflik yang disebut berakhir dalam tujuh bulan masa pemerintahan Trump. Konflik itu meliputi: Kamboja dan Thailand, Kosovo dan Serbia, Pakistan dan India, Republik Demokratik Kongo dan Rwanda, Mesir dan Ethiopia, serta Armenia dan Azerbaijan.
Zenou menilai Trump memiliki definisi perdamaian yang terlalu sederhana. Baginya, perdamaian berarti tidak ada baku tembak, tidak ada orang saling menembak dengan senapan mesin. Padahal, itu bukanlah perdamaian sejati. Contohnya, hubungan Iran dan Israel yang tetap bermusuhan meskipun pertempuran 12 hari telah berhenti. Dia mengatakan banyak konflik yang mengalami pasang surut, dan perdamaian nyata membutuhkan waktu panjang untuk tercapai.
Faktor Waktu Jadi Kendala
Isu waktu juga menjadi tantangan bagi Trump. Pasalnya, periode pengajuan nominasi Nobel Perdamaian telah ditutup sejak Januari. Artinya, semua nominasi yang dia terima sepanjang tahun ini tidak akan dihitung untuk penghargaan yang diumumkan pada Jumat (10/10/2025). Selain itu, detail lengkap mengenai nominasi baru akan dibuka ke publik setelah 50 tahun, sehingga sulit mengetahui seberapa besar dukungan sebenarnya terhadap pencalonan Trump. Sejumlah kesepakatan damai yang diklaim Trump pun masih berjalan.
Penyangkalan Krisis Iklim Jadi Sorotan
Sikap Trump yang baru-baru ini kembali menyangkal krisis iklim juga dipandang sebagai isu kontroversial yang dapat memengaruhi penilaian Komite Nobel. Profesor Mokhefi-Ashton mengatakan bahwa Komite mungkin melihat ada keuntungan tertentu jika Trump memenangkan Nobel, misalnya secara transaksional untuk mendorong dia lebih mendukung Ukraina. Namun, jika langkah itu diambil hanya sebagai kalkulasi geopolitik, daya tarik Nobel bisa memudar karena semua pemimpin dunia akan mencoba melakukan hal yang sama.
Meski demikian, Mokhefi-Ashton menilai Trump dikenal mampu menantang prediksi dan melakukan hal-hal yang sebelumnya dianggap mustahil. Ia mengatakan, jika Trump menang, hal itu akan menjadi pencapaian terbaik seumur hidup. Namun, kegagalan pada tahun ini bukan berarti akhir bagi Trump. Mokhefi-Ashton menilai Trump adalah sosok yang jauh lebih strategis dalam jangka panjang daripada yang dibayangkan banyak orang. Kekalahan tahun ini bukan berarti selamanya, dia tidak akan menyerah. Orang-orang sering meremehkannya. Mereka yang gagal melawan Trump justru jatuh karena alasan itu.











