Strategi Pemerintah untuk Mengurangi Ketergantungan pada Impor BBM
JAKARTA – Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan kebijakan pencampuran etanol 10 persen dalam bensin, yang dikenal sebagai E10. Langkah ini merupakan bagian dari strategi nasional untuk menekan impor bahan bakar minyak (BBM) dan meningkatkan ketahanan energi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan bahwa kebijakan ini masih dalam tahap kajian sambil mempersiapkan pembangunan pabrik etanol di dalam negeri.
Menurut Bahlil, penggunaan etanol sebagai bahan campuran bensin akan mengandalkan bahan baku lokal seperti singkong dan tebu. Hal ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi sektor pertanian serta menciptakan lapangan kerja baru.
“Pabrik etanol ini dari singkong, dari tebu, dan ini mampu menciptakan lapangan pekerjaan karena petani-petani kita ke depan akan kita dorong untuk hal ini,” ujarnya.
Bahlil menjelaskan bahwa penerapan kebijakan E10 diprediksi akan dimulai pada tahun 2027. Saat ini, pihaknya sedang melakukan perencanaan terkait waktu yang tepat.
“Sekarang lagi pengerjaan apakah mandatori ini dilakukan di 2027, 2028, atau kapan. Tetapi menurut saya, yang kita lagi desain, keliatannya paling lambat 2027 bisa jalan,” katanya.
Kebijakan pencampuran etanol ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bensin. Saat ini, impor bensin mencapai 27 juta ton per tahun. Dengan adanya E10, harapan besar diarahkan untuk mengurangi angka tersebut.
Saat ini, pencampuran etanol hanya diterapkan sebesar 5 persen (E5) melalui produk Pertamax Green 95 milik Pertamina. Namun, jenis BBM ini baru tersedia di Jakarta dan Surabaya. Sebelumnya, rencana penggunaan E10 sempat dijadwalkan mulai berlaku pada 2026.
Salah satu tokoh yang mendukung kebijakan ini adalah Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan. Ia menilai E10 sebagai langkah strategis dalam mempercepat transisi menuju energi bersih serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
“Saya sudah diumumkan oleh Menteri ESDM, pada tahun depan kita sudah mulai pakai bensin campur 10 persen etanol atau metanol. Ini program pokok,” ujarnya dalam acara Trade Expo Indonesia (TEI) ke-40.
Zulhas menambahkan bahwa kebijakan ini juga diharapkan memiliki dampak luas terhadap perekonomian, khususnya sektor pertanian. Permintaan bahan baku seperti jagung, singkong, tebu, dan sorgum akan meningkat seiring dengan produksi etanol.
“Ini agenda besar dan berdampak luas, tentu tidak mudah. Perlu kerja sama semua pihak, perlu punya visi dan misi yang sama, serta memahami filosofinya bersama-sama,” kata dia.
Ia juga menjelaskan bahwa kebijakan E10 akan meningkatkan kemampuan petani. “Bayangkan betapa akan meningkat kemampuan petani kita. Kalau besok kita menuju 10 persen etanol dan metanol, berarti harus membangun industrinya. Berarti kalau orang menanam jagung akan laku keras, kalau orang tanam singkong akan laku karena itu untuk etanol dan metanol. Bayangkan, tidak akan ada tanah kosong nanti. Tanam singkong laris, tanam jagung laris, tanam tebu apalagi untuk etanol,” tambah Zulhas.
Dengan adanya E10, pemerintah berharap dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan energi dan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas, khususnya bagi para petani dan pelaku usaha di sektor pertanian.












