Kritik terhadap Ruang Kebebasan Berekspresi dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran
JAKARTA – Sejumlah lembaga dan aktivis di Indonesia menyoroti kinerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam satu tahun terakhir.
Salah satunya adalah YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), yang mengungkapkan kekhawatiran terkait semakin sempitnya ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menyatakan bahwa tindakan represif dari aparat semakin gencar dalam menangani masyarakat dan aktivis yang melakukan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.
Ia mengungkapkan bahwa hingga saat ini, tercatat sebanyak 5.444 orang ditangkap dan 997 orang telah ditetapkan sebagai tersangka setelah beberapa kali unjuk rasa.
Unjuk rasa yang menjadi perhatian Isnur antara lain demo masyarakat menolak revisi Undang-Undang TNI pada awal 2025, peringatan Hari Buruh Internasional di Mei 2025, serta penolakan terhadap tunjangan besar bagi anggota DPR pada akhir Agustus 2025.
Menurutnya, pemerintah cenderung membangun narasi bahwa aksi tersebut diinisiasi oleh kelompok tertentu, seperti para pegiat demokrasi dan aktivis.
Presiden Prabowo sendiri pernah menyebut adanya indikasi gerakan makar dan terorisme dalam unjuk rasa Agustus 2025. Hal ini, menurut Isnur, memberikan legitimasi kepada aparat untuk menangkap dan menyalahkan para aktivis yang dianggap sebagai pelaku kerusuhan.
Menurut Isnur, penangkapan tersebut justru bertujuan untuk mengubur fakta bahwa ada ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah. Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus mengungkap aktor di balik kerusuhan, bukan malah mengkriminalisasi para aktivis yang menyuarakan aspirasi masyarakat.
Penilaian dari Amnesty International dan CELIOS
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, juga menyampaikan kritik serupa. Menurutnya, sejak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024, Prabowo-Gibran belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam menjaga hak asasi manusia dan menjamin kebebasan berekspresi.
Usman mencontohkan bagaimana pemerintah justru menangkap peserta demonstrasi, sementara tidak serius mengevaluasi keputusan-keputusan pemerintah yang dipersoalkan oleh masyarakat.
Ia menilai bahwa pemerintah mempersempit ruang kebebasan berekspresi dengan memberikan label negatif kepada masyarakat yang berdemonstrasi, seperti disebut anarkistis, makar, antek asing, atau teroris.
Hasil riset dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) juga menunjukkan bahwa kondisi kebebasan sipil dan berekspresi dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran tidak baik-baik saja.
Dalam survei yang dilakukan, sebanyak 35 persen responden menyatakan bahwa kebebasan sipil dan berekspresi tidak berubah dari sebelumnya. Sementara itu, 28 persen responden merasa bahwa kebebasan tersebut tidak terlindungi atau sangat tidak terlindungi.
Hanya 13 persen responden yang merasa kebebasan sipil mereka terlindungi. Menurut peneliti Hukum CELIOS, Muhammad Saleh, alasan utama masyarakat merasa demikian adalah karena aparat sering menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah. Selain itu, pendekatan keamanan dalam menangani demonstrasi juga menjadi faktor utama.
Respons Pemerintah dan Evaluasi
Sampai saat ini, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro belum memberikan respons atas kritik masyarakat sipil dan hasil riset CELIOS.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengakui bahwa masih ada kekurangan dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah juga telah mencapai banyak hal dalam periode tersebut.
“Kami tahu bahwa dalam satu tahun ini pasti ada plus-minus, pasti ada kekurangan dan kelebihan,” ujar Bahlil saat ditemui di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada Senin, 20 Oktober 2025.












